Meluruskan Kiblat Bangsa Ala “Alay” IMM

Kalau tidak salah terminologi “Meluruskan Kiblat Bangsa” didengungkan  pada TANWIR  IMM Bulan Oktober 2015 di Manado. Maklumlah sudah pos-pos-pos di IMM. Tidak lagi mengikuti perkembangan zaman IMM kekinian. Pun demikian Meluruskan arah kiblat di Muhammadiyah tidak asing lagi. Sejak di IRM (2001) sampai ber-IMM (2004) selalu saja ada diskursus mengenai naluri dakwah yang diwariskan oleh Kiyai Dahlan pada Bangsa ini.


Pelurusan arah kiblat Pada suatu malam di tahun 1898. Dengan mengundang 17 orang ulama berimplikasi serius karena akhirnya bukan saja ide [gagasan] Kiyai Dahlan di tolak dan dikafirkan namun langgar Kidul [Mushallah] pun dirobohkan. Penyampaian pelurusan arah kiblat dinilai terlalu modern dan mengada-ada oleh para Kiyai, begitupun kemudian pada penggunaan meja dan kursi dalam proses belajar-mengajar  Kiyai Dahlan dituduh kafir. Pun demikian Kiyai Dahlan selalu tenang dan bijak dalam menjawab setiap tuduhan dengan alur logika berfikir yang tertata rapi. Logika berfikir yang tertata rapi ini jugalah ahirnya diterima sebagai Guru di Sekolah belanda. Sesaat setelah  mencerahkan pihak sekolah atas sikap yang ditujukan terhadap Siswa yang kentut dengan kencang disertai gelak tawa para siswa. Bukannya marah, Kiyai Dahlan justru mempersilahkan para siswa kentut jangan di tahan. Betapa menderitanya kita kata Kiyai Dahlan jika tidak diberikan Anus oleh Allah, maka patutlah kita bersyukur atas anugrah yang diberikan. Layaknya sebuah balon. jika terisi angin terus menerus maka akan meletuslah balon itu.

Naluri dakwah Kiyai Dahlan telah melampaui zamannya. Betapa mudah dan tersublimnya para murid kala Kiyai Dahlan menjawab pertanyaan muridnya tentang agama  dengan memainkan biola yang syahdu nan indah mempesona. Kiyai Dahlan menyadari betul bahwa pendidikan yang baik adalah ketika menempatkan murid sebagai subjek perubahan dirinya sendiri bukan menempatkannya sebagai objek yang selalu di isi terus menerus tanpa pemaknaan dan transformasi nilai kemanusiaan yang membebaskan.

Peristiwa di atas memunculkan kekaguman sekaligus pewarisan nilai yang tidak akan lekang oleh waktu. Kekaguman akan keberanian menyampaikan ide di tengah kebuntuan ide kolektif, kekaguman filosofi yang menuntun keberanian, dan kesabaran sebagai nafas panjang keberanian dan kekuatan filosofi yang dibangun sebagai kehendak jiwa dalam menunaikan tugas demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan resiko yang akan diterimaNya.
Keberanian adalah kehendak jiwa yang lahir sebagai fitrah manusia maupun yang lahir melalui proses pelatihan. sedangkan filosofi adalah mata air yang terus menyuplai keberanian dalam jiwa seseorang  yang menjadi sebab seluruh tindakan diarahkan. Itu sebabnya Kiyai Dahlan tidak akan berhenti mengajarkan Al-Maun dan QS. Al-Asr pada muridnya, pun seluruh muridnya sudah menghafal.

Kiyai Dahlan adalah sang pembaharu yang mampu memadukan nalar akal [Rasionalisme-Humanisme] dan nalar wahyu (Al-Qur’an dan Hadts Makbullah). Dilebur dengan begitu indah  dalam satu kekuatan filosofi keberpihakan sosial keagamaan yang sangat kental. Di tangan Kiyai Dahlan Al-Qur’an kembali hidup dan tidak bermakna literal saja namun begitu membumi dan membebaskan.
Hal tersebut bisa dimahfumi jika mengaitkan Kiya Dahlan dengan Jamaludin Al-Afgani, tokoh pembaharu yang selalu mengajak umat, pemimpin dan kelompok-kelompok untuk bersatu menguatkan solidaritas untuk meraih kemajuan dan membebaskan diri dari intervensi barat, dengan ide Pan Islamisme. Bersama Muhammad abduh yang juga  kemudian mempengaruhi pemikiran Kiyai Dahlan, menerbitkan Al-Urwatul Wutssqa majalah anti penjajahan yang menimbulkan kegelisahan Dunia barat dan Rasyid Ridha tokoh pembaharu yang juga akhirnya mengilhami Kiyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Ide-ide Rasyid ridha menemukan momentumnya di Indonesia ketika mengatakan Islam lemah karena tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran islam yang murni sebagaimana yang dipraktekan Nabi Muhammad Saw dan para Sahabat. Melainkan ajaran yang menyimpang. Bercampur dengan bid’ah dan khurafat.

Meluruskan Kiblat Bangsa Ala  “Alay” IMM
“Mencintai tidak harus selalu dengan Pujian, Mengkritik adalah bagian dari mencintai” [Titah IMM Renaissance FISIP UMM]
Meluruskan Kiblat bangsa adalah sebuah ide atau hanya sebuah istilah baru yang “Alay” di internal IMM. Alay secara umum adalah fenomena perilaku unik yang dianggap berlebihan (lebay) dan selalu berusaha menarik perhatian. Jika ini yang dijalani bisa jadi kita temui pembenarannya pada kefahaman kader akan konsepsi meluruskan kiblat bangsa dan orientasi perkaderannya. Pertanyaannya. Apakah sudah ada perangkat pelurusan dan konstruk atas perpindahan arah kiblat bangsa atau meminjam dialektikanya Om Hegel, apa sesungguhnya tesis, anti tesis dan sintesa pelurusan arah kiblat bangsa.

Selama ini konsepsi meluruskan kiblat bangsa memang masih menari seksi dan normatif di atas podium kala sambutan para petinggi IMM. Belum ada perangkat transformasinya. Atau bisa jadi Aqoe yang belum tau informasinya ya. Maklumlah orang tua tugasnya ngomel-ngomel he”. tagline meluruskan kiblat bangsa oleh IMM telah mewarnai keber-IMMan kader. Namun sayang sekali karena masih sebatas ide mentah dan terkesan momentual tatkala letup nurani terusik oleh kepemimpinan presiden Jokowi dalam aspek ekonomi politik yang juga tidak jauh berbeda dengan presiden sebelumnya sehingga kader tidak[belum] terwarnai oleh ide pelurusan kiblat bangsa.
Semangat keberanian, yang dipandu kekuatan filosofi dan nafas panjang kesabaran oleh Kiyai Dahlan haruslah menjadi cerminan pelurusan kiblat bangsa yang dimaksudkan IMM. Pun dalam konteks waktu dan metodologi serta wilayah konstribusi yang berbeda. IMM harus mampu menemukan keunikan dirinya dengan melahirkan ide-ide emansipatoris kritis yang kreatif dan membebaskan ditengah materialism barat yang hendak mengarahkan seluruh anak bangsa pada satu kesadaran dan satu pikiran kolektif yang monolitik disatu sisi dan dominasi alam pikir kaula mudah pada Marxisme-lenisme di sisi yang lain.

Kekuatan filosofi adalah kerangka pikiran yang terbentuk sedemikian rupa dalam diri kita sebagai akumulasi dari kerja-kerja imajinatif. Adapun imajinasi itu sendiri adalah fungsi pikiran dan emosi sekaligus terhadap ruang internal dan eksternal IMM serta bangsa ini. Dalam perspektif filsafat, IMM hendaknya bertanya tentang hal-hal mendasar tentang alam pikir bangsa dan IMM sendiri serta orientasi dan faktor eksternal yang terus menerus mempengaruhinya. Harusnya hal tersebut adalah proses yang paling sublim dalam diri ikatan, sekaligus merupakan tahapan kreativitas yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian dan karakter khas kader IMM dalam keber IMM-an.

Muktamar, sekali lagi Muktamar mestinya adalah ruang bersilangnya ide-ide kreatif yang lahir dari hasil imajinasi-filosofi IMM dari seluruh daerah sebagai respon terhadap perjalanan satu periode IMM serta dialektika kebangsaan-kenegaraan dan dialektika wacana global yang mengitarinya[semoga ada di Muktamar belum lama ini]. Bukan tempat tontonan atau media eksistensi daerah memperlihatkan kepiawayan berbicara dan keberanian bertanya atau sekedar seheloww di forum Muktamar yang membuat rapat komisi tidak begitu “seksi” dibanding dengan jelang dan masuknya pemilihan formatur. Karena terkadang maaf, malas mikir dan bertanya terhadap substansi setiap bahasn penting dalam draf yang disediakan.  
Juga bukan ruang bagi kader untuk mengekspresikan hasrat politiknya. Jika yang terjadi demikian, kader akan mengalami gejala somatik politik. Yang membuat energinya habis hanya untuk berfikir tentang siapa yang bakal jadi ketua Umum DPP IMM yang dipastikan juga suasana kebatinan akan terus terusik pasca Muktamar. Apalagi misalnya prosesnya juga dianggap menabrak aturan dan disertai sikap jumawa oleh yang terpilih. Kita tidak separah inikan [semoga]. Dan ahhh ternyata terbukti ada kubu-kubuan bung Revolusi v Bung Abdan Syakura [Tambahan suntingan setelah dapat info]. Tetapi itulah dinamika, biasalah semuanya akan berlalu dan gapai kematangan tertentu. Dan Qoe selalu yakin berorganisasi itu seni, tak semua konflik yang menifest muncul karena natural tetapi bisa dezine.  

Pun begitu konflik, baik yang lahir laten natural maupun yang suda manifest selalu berujung pada kuatnya cinta dan loyalitas karena sejatinya sama-sama mencintai hal yang sama yaitu IMM dan Kemajuan Islam dalam lokus indonesia berkemajuan. Kita bersama sejatinya juga sedang menguatkan benteng keimanan dan Amal Sholeh, memahat tawakal dalam doa. Menggapai mimbar mahabbah bersama IMM untuk merengkuh diri dalam cintaNya. Jika hari ini, dalam minggu-minggu ini Immawan Rev dan Imm Abdan masih berat memegang erat tangan menjatuhkan beratnya hati karna masih timbang-menimbang. Cukuplah saling erat dalam Do'a yang lirih untuk IMM dan adik-adikNya Immawan Immawati se-Indonesia. Agar sang empuhnya cinta menjadikanMu berdua cermin cinta yang dariNya Adik-adik Immawan Immawati se-Indonesia Bercermini dengan rasa bangga, semangat dan penuh harapan.     
Terlepas dari dialektik di atas. Agar tak lompat ide dari judul hehe.Di sisi yang lain, Aqoe sebenarnya penasaran tentang konsep menduniakan gerakan yang sering didengungkan Bung Beni P. Ketum IMM sebelumnya karena sampai berlalunya periode kepemimpinan belum ada konsepsi yang menjadi panduan gerak bersama dalam konteks tersebut. Kecuali hadirnya IMM dalam agenda-agenda kepemudaan di luar Negeri serta pembentukan cabang Istimewa di beberapa Negara yang setahu Aqoe kepemimpinan Bung Jihad sebelumnya juga ada agenda semacam ini tetapi mungkin di periodenya belum terlalu masfif penyampaiannya di Media. Aqoe mengikuti sambutannya pada Musyawarah DPD IMM Maluku Utara dan mengapload di Youtube SambutanNya di agenda Rakernas. Tidak berbeda masih tetap sama bahasa ekstrimnya maaf masih sebatas “lipstyc” . Sebagai orang sosiologi bawaannya biasanya selalu penasaran. Meminjam Om Erving Goffman, apakah yang ditampilkan adalah panggung depan atau panggung belakang. Tapi Qoe yakinlah adalah panggung depan karena disertai dengan kreatifitas memproduk ide dalam bukunya. Walaupun belum Qoe baca. Katanya kader-kader bukunya bagus. Tapi begitu Qoe mempersilahkan mengurai garis pikirnya. Malah tidak bisa mengurai yang di ingat hanyalah keberhasilan Bung Beni membawa IMM di kancah internasional dan kata mereka Bung Beni Ganteng[hehe..iya..iya]. Jika ini dominan bisa jadi terminologi “Alay” menemukan pembenarannya. Ah tidaklah berlebihan bangat. Pun begitu. Letup batinQoe slalu berbisik Bung Beni P. Bakal jadi tokoh hebat, dalam satu periode beliau hampir gapai kematangan sesungguhnya yang dibutuhkan Bangsa. Komunikasi politiknya dingin tapi selalu pas. Snipernya manis tapi tak semanis gula agak sedikit pahit-pahitnya. Bagai minum kopi itam aja, ide kreatif selalu jalan pun diikuti sedikit nalar pahit. Tapi bagai obat, pahitnya di awal setelah itu anda yang rasakan sendiri hehe. Selamat dan Salut Qoe buat bung Beni P. Sisipsiplah periodenya.

Periode Revolusi
Revolusi yang dimaksudkan bukan Revolusi Bolshevik di Rusia atau Revolusi mental Ala Pa Presiden Jokowi ya. Ini Immawan Revolusi Ketua Umum DPP IMM. Entah nanti mau merevolusi apa juga kita belum tau. Tetapi dari sambutan penutuapan Muktamar di PP Muhammadiyah. Setidaknya kembali menghasrati ide Meluruskan Kiblat Bangsa. Semoga hasrat ini bisa terhastrati juga oleh kader IMM se-Dunia internasionale [jadi ingat Intermilan he”]. Membaca profil Immawan Revolusi sebagai ketua Bidang Hikmah DPP IMM sebelumnya dan Immawan Ali, yang secara personal Qoe kenal sebagai kader Malang[2005] dan Ketua Cabang IMM, serta kiprahnya di DPD IMM Jawa Timur. Immawan Ali tidak saja berani namun juga memiliki ide-ide –segar cemerlang serta penguasaan bahasa Arab-Inggris yang bagus[Bahasa itu penting lo..ala-ala lebay dikit he”.]  setidaknya ada harapan baru yang akan bisa mendekatkan kader dengan masalah pokok Rakyat, masalah pokok bangsa dan masalah pokok Negara ini. Karena konsokwensi sebagai gerakan intelektual harusnya dekat, faham dengan masalah rakyat dan selalu terlibat dan melibatkan diri dalam substansi manifestasi terhadap nilai kemanusiaan yang emansipatoris kritis yang diharpkan menjadi fakta sosial yang membebaskan.
Menempatkan kader sebagai subjek perubahan harusnya menjadi agenda Revolusi [yang ini terminologi Revolusi benaran ya]. Karena loginya; bagaimana mungkin IMM bisa secara nasional dan Daerah  menjawab kegelisahan kolektif rakyat dan bangsa ini terhadap Negara serta persoalan di Daerah. Bagaimana mungkin juga IMM bisa menjawab tantangan Global yang terus menginfasi alam sadar dan alam pikir Rakyat, bangsa dan Negara. Dengan terus mengupayakan lahirnya kader-kader dengan kadar keberanian yang jauh melebihi tantangan yang dihadapi atau minimal kadar keberanian yang sama dengan masalah yang dihadapi. Jikalau kader hanya dijadikan sebagai objek proses kaderisasi bagaimana mungkin bisa menjawan tantangan zaman tersebut. Bukankah perdefinisi kader adalah kelompok inti dan penggerak utama organisasi. Jika demikian adanya maka membangun kesadaran terhadap penguatan KADERISASI INTERNAL dengan masifikasi alam sadar dan alam pikir aspek Intelektual-Humanitas dan Religiusitas adalah niscaya.
Penguatan Trikompetensi tersebut bukan juga sekedar di hafal, apalagi di arena sakral DAD. Kader harusnya dibenturkan dengan persoalan rakyat. Lalu landasan epistemologi, ontology dan aksiologi yang dimaksudkan IMM menjadi perangkat dan alat perjuangan kader dalam transformasi sosial keagamaan [Humanis-Religiusitasnya] di gubuk si miskin yang tak berdaya atau di parlemen yang berdaya dan leluasa merampas habis hak rakyat atau para kapitalis berdasi yang sedang santai di Mall-mal sambil menyaksikan “kebiadaban” maha dahsyat atas tontonan tarian budaya kapitalisme yang terus mempesona di alam pikir dan alam sadar kaula muda yang hanya beli Supermi-Mi Goreng harus ke Mall. Atau anak kecil yang hanya membeli permen harus nangis sejadi-jadinya ke Mall di satu sisi dan pemahaman Marxisme-Lenisme atau agenda tersembunyi PKI (Partai Komunis Indonesia) saat itu di Indonesia. Jangan sampai kader dengan semangat berapi-api justru murni dipengaruhi oleh pemahamannya terhadap MDH (Materialisme-Dialektik-Historis) Marx sebagai alat perjuanganNya. Bukan oleh panduan gerak IMM sebagai konsekwensi keberimananNya. Bahwa penting kader [dan Qoe mengharapkan kader membaca dan memahami dan kalau bisa menguasai MDH] tetapi harus disiram dengan basirah langit(Al-Qur’an-Hadist) agar bermakna transcendental.       
Dari benturan masalah-masalah semacam di ataslah kader akan terbiasa atau memiliki sensifitas yang kuat dan akhirnya tau yang mestinya dilakukan sebagai kader IMM. Kalau sudah demikian, tinggal membangun budaya baca[terutama pilihan paradigma dan ayat-ayat yang menyiraminya],budaya diskusi dan budaya tulis yang dikuatkan dengan data dan teori sebagai pisau analisa kader di bawa kehendak suci keberimananya(Religiusitasnya).
Kader IMM dibiasakan mengkaji ayat-ayat pembebasan yang setahu Qoe banyak di dalam Al-Qur’an dan Hadist Makbullah. Seperti Al-Maun atau sebagai contoh QS.Alfatihah yang menurut Qoe Menjustifikasi betapa tidak berharganya sebenarnya ideologi Sosialisme-Komunisme dan Kapitalisme. Begitu sempurna "Allah Maha pengasih-Maha Penyayang. Sementara Sosialis Menghegemoni & dominasi dengan darah & pengrobanan,mendehumanisasi dalam upaya merebut kekuasaan diktatorial. Islam menghendaki perang jika diperangi, dan tidak semua bisah dibunuh anak-anak dan yang tuah rentah. Betapa pengasih dan penyayangnya Allah. Sementara kapitalisme merampas kesadran manusia agar hanya menghamba pada materi dan merampas Sumber Daya Alam bahkan sumber Daya Manusia negeri-negeri  bonekanya.

Sebabnya, segala Puji Hanya bagi Allah. Kepdanya Kita menyembah dan hanya kepdnya kita meminta pertolngan dengan permohnan jalan yang lurus yaitu jalan yang menjdikan Para Nabi dan Sahabat mengikutinya. Bukan Jalan Firaun(Kurup-Penindas, selalu merasa benar),Haman(Teknokrat-pelacur Ilmu-yang selalu mendukung Tirani), Qarun(Kapitalis-Rakus-Penindas) dan Bal'Am (Kaum Rohani yang Korup dan Meligitimsi kekuasaan Korup). Dan sekali lagi kalau boleh baca juga Daskapital/MDH untuk digunakan menganalisa dengan juga tidak abai pada kajian-kajian Hermeneutik terhadap dominasi-Hegemoni Firaun, Haman, Qarun & Bal'an di Abad Modern.

Pertanyaan sekarang. Apa yang hendak dikonsepkan oleh Immawan Revolusi dan Immawan-Immawati DPP IMM yang sekaligus menjadi panduan cermin bagi kader untuk bergerak. Atau lingkungan dan suasana kebatinan(kehendak jiwa) semacam apa yang hendak dibangun. Atau lebih tepatnya bagaimana rumusan epistemologi dan metodologi periode Revolusi (yang ini bisa dimaknai sebagai orang dan sebagai term). Dari sinilah muncul Naskah SITDA (Situasi Daerah), SITNAS (Situasi Nasional) dan SIIN(Situasi internasional). Yang didukung kuat oleh pilihan paradigma, metodologi dan dukungan data yang valid di setiap tingkatan. Jika semangat ini yang dilakukan dan terus diupayakan oleh periode sebelum-sebelumnya maka terminologi ALAY Tidak pantas disematkan pada konsep dan Program IMM yang sudah berlalu dan yang sedang dan yang akan terus bergerak. Dan Yang Qoe hawatirkan sih jangan sampai justru muncul Firaun, Haman, Qarun dan atau Bal'an diantara kader [Semoga Tidak].Aaamiiin Ya Rabb.

Fitu, 09 Juni 2016;09.34 Wit.

Rahmat Abd Fatah
Alumni IMM Renaissance FISIP UMM Malang  

Tidak ada komentar: