Filsafat IMM; Belajar Dari Adik Sophie...?


Lupa tepatnya kapan Tulisan ini di buat, Pastinya saat bedah Film Sophiea yang diselenggarakan Immawan Immawati Korkom Universitas Muhammadiyah Maluku Utara. Setelah dibaca kembali ternyata begitu banyak bolong-bolong dan bahasa yang masih lugu, tak sastrais juga menurutku..Tapi Malas Ahh mengeditnya si Rafat ananda tercintaku suda rewel...
SOPHIE, novel ini dibuka dengan adegan Sophie menemukan dua surat misterius (tanpa nama pengirim dan cap pos) di kotak pos rumahnya sendiri. Ternyata, gak cuma dua surat itu saja yang diterimanya., ada satu lagi surat yang berisi ucapan selamat ulang tahun untuk Hilde Moller Knag, namun dialamatkan kepada Sophie. Tentu saja ketiga surat itu membuat Sophie bingung.

Sebagaimana yang anda tonton. Sophie adalah seorang pelajar sekolah menengah berusia empat belas tahun. Dia mendapat sebuah surat misterius yang hanya berisikan satu pertanyaan : “Siapa kamu?” Belum habis keheranannya, pada hari yang sama dia mendapat surat lain yang bertanya : “Dari manakah datangnya dunia?” Seakan tersentak dari rutinitas hidup sehari-hari, surat-surat itu membuat Sophie mulai mempertanyakan soal-soal mendasar yang tak pernah dipikirkannya selama ini.
 Siang ini, dalam waktu hanya dua jam, dia telah dihadapkan dengan tiga masalah. Masalah pertama adalah siapa yang telah meletakkan dua amplop putih di kotak suratnya. Yang kedua adalah pertanyaan-pertanyaan sulit yang tertulis dalam kedua surat tersebut. Masalah ketiga adalah siapakah Hilde Moller Knag, dan mengapa Sophie yang dikirimi kartu ulang tahunnya. (Hal. 36-37)
Berawal dari ketiga surat inilah petualangan Sophie mempelajari filsafat dimulai. Saat Sophie benar-benar  kebingungan memikirkan jawaban atas pertanyaan filosofis dalam surat misterius itu, tiba-tiba Sophie menemukan satu surat lagi, kali ini jauuh lebih tebal, karena isinya adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan misterius tersebut. Begitulah, dalam bab-bab awal buku ini, Sophie dikisahkan menerima pelajaran filsafat melalui media surat. Ritmenya hampir selalu sama, diawali dengan surat pendek berisi pertanyaan misterius, lantas disusul dengan surat panjang yang berisikan uraian jawabannya berdasarkan pemikiran filsuf-filsuf tertentu.
Menurut saya, Jostein Gaarder sangat tepat memilih gadis berumur empat belas tahun sebagai tokoh utama novel ini. Usia empat belas tahun, usia yang sudah bukan lagi kanak-kanak, namun juga belum tepat dianggap dewasa. Ia masih memiliki sifat rasa ingin tahu yang tinggi khas kanak-kanak, dan sebelum rasa ini pudar oleh dinamika kehidupannya, datanglah seseorang misterius memberikan pelajaran filsafat bagi sang tokoh utama, Sophie.
Dengan demikian, menapaki belantara Filsafat sebenarnya, dapat dimulai dari pertanyaan yang paling Anda sukai atau paling membuat Anda bingung. Kenapa demikian? Ini karena pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang akan memberikan energi kreatif buat Anda untuk belajar filsafat. Tetapi juga mengantarkan kita untuk mengetahui tentang jawaban dari setiap pertanyaan kita. Secara sederhana, jawaban dari setiap pertanyaan akan mengantarkan kita mengetahui tiga hal besar dalam filsafat. Yaitu, [1] tentang latar belakang pengetahuan terhadap sesuatu objek yang kita tanyakan atau yang disebut Epistemologi [2] tentang hakikat objek yang kita tanyakan atau yang disebut Ontologi [3] dan metodologi seperti apa yang sesuai untk mencapai cinta dan kebijaksanaan itu.
Filsafat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Filsafat IMM adalah upaya sistematis dan radikal dalam mempelajari IMM dengan menggunakan pendekatan Filsafat (RAF).
Pelajaran terbesar dari SOPHIE dalam mempelajari IMM adalah dimulai dari pertanyaan-pertanyaan kritis kepada IMM.  Apa itu IMM? Landasannya apa? Kenapa harus IMM? Bagaimana IMM berproses? Apakah ada jaminan bahwa dengan IMM saya bakal jadi orang cerdas, pintar ngomong, bisa lebih mandiri? Apakah dengan IMM saya bakal jadi orang hebat-sehebat “Supermen”? dan seabrek pertanyaan kritis yang lain.
Karena itu, Filsafat IMM sesungguhnya adalah respon terhadap tiga pertanyaan mendasar berikut [1] pertanyaan epistemologi (Darimana IMM, landasannya apa, kenapa tujuannya seperti dan seterusnya...) [2] pertanyaan Ontologi (Untuk apa ber IMM apa hakikatnya?) [3] dan pertanyaan metologis, bagaimana IMM berproses untuk mencapai tujuannya?
 Wahyu sebagai Landasan Epistemologi Filsafat IMM
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Surat Al Imran; 104). Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS. Surat Al Imran; 110). “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seadainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka kuwatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mereka mengucapkan perkataan yang benar”.(QS. An-Nisa; 9).
 Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Surat Al Imran; 190-191). Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin,  Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. ( QS. al Ma’un; 1-7)
 Dengan demikian, epistemologi kelahiran IMM adalah Wahyu sekaligus menjadi dasar Falsafah, sebagai manifestasi Epistemologi Muhammadiyah dalam transformasi ke-umatan dan ke-bangsaan. Wahyu menempati posisi sebagai konstruk realitas yang memberikan pedoman dalam pikiran dan tindakan seorang kader IMM. Dalam konteks ini Wahyu lalu menjadi unsur konstituif (Strukturalisme Transendental) dalam paradigma IMM yaitu, Pengikatan unsur transendental yang menjadi referensi tafsir sosial, politik dan intelektual IMM.
 Oleh karena itu, tujuan IMM kemudian diarahkan untuk “Mengusahakan terbentuknya akademisi muslim yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah”.Dalam konseptualisasi gerakannya, visi yang dicita-citakan harus senantiasa terpelihara secara kokoh di dalam “state of mine” kader-kader persyarikatan yang dibina oleh ikatan sebagai bentuk pelestarian dokrin dan loyalitas kelembagaan. Dengan demikian integrasi ayat dalam visi ikatan ini menjadi mainstream yang secara komunalitas akan membingkai kader-kader Ikatan dalam satu kerangka keseragaman paradigmatik atau pola pikir yang dikembangkan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah .
 Untuk mentransformasi paradigma tersebut IMM membekali kader-kadernya dengan perangkat analisa yang sekaligus lebih akrab sebagai trikomptensi kader ikatan; intelektualitas, humanitas, religiusitas. Tetapi kemudian yang menjadi berbeda dalam konteks IMM adalah, intelektualitas dan humanitas bekerja dibawa kaki segitiga religiusitas.
 Artinya, Humanisasi, sejalan dengan semangat teori kritis yang menempatkan manusia pada subjek perubahan dengan model emansipatoris kritis untuk kemanusiaan universal. Hanya saja jika teori kritis lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, maka konsep Amal Shaleh berakar pada humanisasi-transendental.  Begitupun intelektualitas dengan Epistemologi barat seperti positivisme- Rasionalisme dan empirisme yang mengakui sumber pengetahuan hanya pada akal. Maka IMM memasukan unsure wahyu (ulul albab) sebagai landasan paradigma 
 Keberimanan adalah basis material kader IMM yang hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun kekuasaan, Juga sekaligus sebagai kritik terhadap Marxisme yang menyatakan bahwa struktur menentukan suprastruktur (Material menentukan Kesadaran). Sehingga proses kaderisasi IMM meletakkan kesadaran (suprastruktur) di atas basis material (struktur). 
 Islam hadir dengan meletakkan kerangka dasar etik dan etos, ini merupakan wilayah apresiasi masyarakat muslim dalam nomenklatur kemanusiaan. Karena itu, wilayah “kesadaran dalam” (QS. Al-Ikhlash) seorang muslim yang bekerja dalam kerangka perbaikan tersebut adalah kesadaran yang bersifat kosmik dan holistic. Pemikiran epistemologi tentang Allah merupakan sebuah keyakinan terhadap adanya realitas transeden yang tunggal dan menuntut adanya aplikasi ketaatan pada tataran aksi. Oleh karenanya, wujud nyata dari perilaku dan kepribadian kader IMM merupakan cerminan yang tidak dapat dipisahkan dari landasan epistemologinya.
 Allah adalah kebenaran itu sendiri yang personifikasi moralitasnya adalah Rasul. Dengan makna seperti ini, pemancangan niat itu adalah pengakuan untuk turut merasakan dan terlibat dalam proses-proses substansi manifestasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang liberatif-emansipatif dan menerjemahkan nilai menjadi fakta sosial yang damai dan menyejukkan secara substansial.
Epistemologi yang melatari ideologi IMM tidak berhenti pada tataran wacana, melainkan membumi dalam bentuk praksis pembebasan.  Mengutip Farid Esack, tokoh Islam Afrika Selatan, menyatakan “Perlunya menggeser teologi eksklusif ke arah teologi yang liberatif terhadap kaum tertindas”.  Dengan landasan epistemologi IMM itulah Filsafat gerakan sosial bekerja sebagai etos untuk menafsirkan sekaligus mendalami fenomena-fenomena sosial, kaitan-kaitan aspek sejarah, politik, ekonomi, budaya dan agama. sehingga akan diketahui sejauh mana terjadi perubahan sosial, bagaimana institusi sosial dengan titik singgung institusi lain menyebabkan masalah-masalah sosial, dan juga dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial serta peramalan perubahan sosial ke depan
 Sedangkan perangkat analisa atau alat (pisau) analisa yang digunakan tidak lain adalah teori-teori sosial. Karena itulah kader perlu dibekali dengan perangkat analisa yang di-integrasikan dengan paradigma IMM yaitu Kritis transformasional dalam bingkai transendental.
Sementara pertanyaan ontologi, mengajak Kader IMM untuk memegang suatu kaidah sederhana bahwa “kebangkitan peradaban itu hanya akan bisa terjadi manakala pengusungnya mengerti akan cinta (hakikat), cita (Tujuan) dan wilayah perjuangannya(Kompetensi & wilayah Konstribusi)”.
 Cinta adalah warisan sejarah kepemimpinan yang paling agung dalam setiap segmentasi peradaban. Adalah Rasulullah Muhammad Saw. Kakinya beradarah-darah. Orang thaif bukan saja menolak dakwahNya. Tapi juga menggunakan kekerasan untuk menolak dakwahnya, dan orang-orang mulia seperti khadijah yang menjadi tulang punggungnya wafat, kini anak-anak thaif melemparnya batu, Ia berlumuran darah. Disaat seperti itulah Jibril datang menawarkan bantuan untuk menghancurkan mereka semua! Menggoda, sangat menggoda tawaran Jibril. Tapi, tidak! Jawab Rasulullah SAW kepada Jibril “ Bahkan memohon penangguhan untuk mereka. Sungguh aku berharap bahwa Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka anak-anak yang akan menyembah Allah dan tidak mempersekutukannya (HR.Bukhari dan Muslim).
            Seandainya Rasulullah seorang pendendam Ia pasti menerima tawaran Jibril. Tapi tidak, Ia seorang Pencinta. Dengan cinta itu jugalah Ia yakin bisa mengubah komunitas mengembala kambing yang angkuh menjadi pemimpin peradaban yang rendah hati. Dan itulah yang kemudian terjadi; hanya dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari. Beliau merampungkan tugas kenabianNya dengan membawa seluruh jazirah Arab ke dalam cahaya Islam.
 Begitulah cinta, menjadi hakikat keberadaan Nabi Muhammad Saw. Cinta yang begitu agung kepada Allah menjadi sebab kekuatan cinta pada UmmatNya. Dan dengan cinta jugalah kader IMM harusnya bergerak, Cintanya Pada Allah, Rasulullah, Umat, dan negeri ini menjadi alasan terkuat kenapa harus bergerak.  karena bagi saya, “generasi hari ini akan menjadi lebih baik kecuali dengan apa yang menjadikan generasi awalnya baik, dan cinta adalah warisan sejarah yang paling agung yang diwarisi oleh para Nabi-nabi”.
 Ini jugalah sebagai jawaban terhadap pertanyaan seorang pengurus komisariat tentang “apakah saya pernah merasa bosan dalam mengurus IMM?”. Jika yang menjadi hakikat keberadaan kita dalam keber IMM-an bukan ibadah, bukan karena cinta kita pada Allah, bukan karena cinta kita Pada Rasulullah, bukan karena kebanggan kita pada Islam dan bukan karena cinta kita pada ummat (dalam proses kaderisasi dan transformasi) suda pasti kebosanan senantiasa menjadi sahabat sejati kita. Kebosanan itu sangat manusiawi, tetapi begitu kita mengikrarkan diri sebagai keder IMM. Itu berarti kita sedang mewakafkan segala energi yang kita punya untuk IMM sebagai jalan atas konstribusi amalan unggulan kita, sekaligus laboratorium intelektual dan kepemimpinan kita. Kesadaran atas hakikat keberadaan kita ini jugalah yang menjadi landasan filosofis dari semua gerak langkah kita bersama IMM tercinta (bersambung....!)
Rahmat Abd Fatah [Alumni IMM Renaissance FISIP UMM Malang]

Tidak ada komentar: