Rahmat (Jaz merah) Demonstrasi kenaikan harga BBM saat Mahasiswa
Saya lahir di sebuah desa kecil
bernama Saketa, di selatan Halmahera. Desa itu dikelilingi laut yang luas dan
kebun yang tak pernah habis ditumbuhi pohon kelapa, kakao, dan jagung. Pada
pagi 10 Juli 1985, udara masih lembap, dan embun menempel di dedaunan, ketika
tangisan pertama saya pecah di antara doa orang tua saya: Abbah, Hi. Abdul
Fatah, dan Ummah, Rakiman Ende. Mereka berdua bukan orang yang besar dalam
ukuran dunia, melainkan besar dalam cara yang lain, yaitu dalam doa, dalam
kesederhanaan, dalam kesetiaan pada tanah dan langit. Dari keduanya, saya
mewarisi dua pusaka, yaitu kerakter dan doa.
Di kebun itu pula, saya mengenal
kebahagiaan sederhana. Libur sekolah berarti bukan tidur panjang, melainkan
hari penuh sukacita. Kami memancing ikan, menangkap udang, memanjat pohon
kelapa, menanam jagung, atau sekadar duduk menatap matahari yang condong ke
barat. Setiap aktivitas terasa suci, karena semuanya menyatukan tubuh kami
dengan alam. Saya percaya, sejak kecil tubuh saya telah diasapi oleh bau tanah
dan air, hingga keduanya meresap menjadi bagian dari diri yang tak bisa
dipisahkan.
Namun, kehidupan kami bukan hanya
tentang kebun. Malam-malam tiba, dan selepas Magrib, suara panggilan untuk
berjamaah memanggil kami. Setelah shalat, rumah atau pondok kayu berubah
menjadi ruang pengajian. Saya masih ingat, betapa suasana selepas pengajian di
kebun begitu akrab. Cerita kakek tentang menebas hutan, tentang keberanian
melaut dari Sagea ke Gane, tentang nasihat menjaga Tahajud. Tetapi di kampung,
suasana berbeda. Abbah menggenggam rotan. Di hadapan kami, Qur’an dibaca, ayat
demi ayat. Ngantuk adalah tanda rotan melekat dibadan, malas adalah aib. Rotan
siap melayang kapan saja. Saya sering takut, kadang menahan kantuk dengan
menggigit bibir. Namun justru dari tangan Abbah itulah, saya menghatamkan
Qur’an dengan cepat. Saya paham kemudian rotan itu bukan hukuman, melainkan
sayap keras yang mendorong anak-anaknya menembus batas.
Selepas SLTP, darah muda saya
mendidih. Ada suara lain di dalam diri yaitu suara untuk hijrah, meninggalkan
kampung, mengejar masa depan. Dengan uang seratus lima puluh ribu rupiah, tanpa
izin Abbah, saya berangkat ke Ternate. Pelabuhan Bastiong menjadi rumah pertama
saya di kota itu. Tiga hari saya tidur di ruang tunggu, di antara kapal yang
berlabuh. Lapar adalah teman, tetapi harapan lebih kuat.
Saya mendatangi rumah kepala sekolah
SMP untuk melegalisir ijazah. Jalan kaki, menembus panas, dari Bastiong ke
Jati. Legalisir itu akhirnya saya dapatkan. Dan seperti takdir yang digariskan,
di hari ketiga saat jalan menuju Toboko, saya mendengar nama saya dipanggil.
Ternyata Seorang guru saya di desa. Bu Ani. Dari mulutnya, keluar tawaran yang
membuat dada saya bergetar, saya diminta tinggal di rumahnya, dan ia membiayai
uang masuk sekolah saya. Malam itu, saya menangis dalam diam. Allah mendengar
doa saya.
Tinggal di rumah Bu Ani adalah
babak baru. Saya belajar tentang kedisiplinan waktu, tentang kerja keras.
Setiap Sabtu atau Minggu, saya menyeberang laut ke Topo Tiga, Tidore, untuk
mengambil pisang atau hasil kebun lain. Kerja itu tidak membuat saya lelah,
justru menambah semangat. Tetapi di balik semangat itu, ada satu kegelisahan. Bagaimana
dengan restu Abbah? Setiap malam, saya berdoa agar Abba meridai langkah saya.
Dan doa itu terjawab. Enam bulan kemudian, Abbah datang ke Ternate. Kami
berpelukan, lama, hingga air mata jatuh. Di pelukan itu, saya tahu saya telah
pulang ke pangkuannya, sekaligus lahir kembali.
Dari pelukan Abba, semangat saya
semakin tergandakan, seminggu sekali diundang oleh RRI Ternate berbicara
tentang problematika Remaja, terpilih sebagai Ketua OSIS, menjuarai cerdas
cermat kelas IPS se Kota Ternate hingga terpilih mengikuti PIR(Pekan Ilmiah
Remaja) di Malino Sulawesi Selatan dan itulah pertama kali naik pesawat.
Setelah SMA Muhammadiyah Ternate,
harapan melanjutkan studi pupus, oleh Abba diminta istrahat setahun. Namun
takdir Allah berkata lain, melalui panggilan dengan pengeras suara di sekolah,
saya dipanggil ke ruangan kepala sekolah. Ayah begitu kami memanggil beliau,
matanya basah. Saya takut informasi itu akan mengguncang jiwa saya. Tetapi ternyata
saya dipeluk oleh beliau dengan penuh haru dan gembira beliau mengucapkan
selamat. “Mat, Alhamdulillah ngana dapat beasiswa sampai selesai di Universitas
Muhammadiyah Malang”.
Di awal semester satu sampai tiga menjadi
mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang tahun 2004. Saya memilih bekerja sambil
kuliah, hari-hari setelah kuliah saya habiskan di dapur warung lalapan, mencuci
piring, mengulek sambal. Bau bawang, cabai, dan minyak goreng menempel di tubuh
saya. Tetapi dari warung itu, saya belajar tentang kehidupan.
Semester berikutnya, melalui
Organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) saya masuk ke lingkaran diskusi.
Malang Corruption Watch(MCW) menjadi
ruang belajar saya tentang teori sosial, problem politik, dan kesadaran kritis.
Dari sana, saya masuk lebih dalam ke dunia organisasi. Tahun 2007, saya
terpilih menjadi Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang. Saya tidak
bangga pada gelarnya, tetapi pada pertemuan dengan beragam pikiran. Organisasi
bagi saya bukan sekadar struktur, melainkan perjumpaan gagasan yang
menyegarkan.
Skripsi saya sempat tertunda.
Saya terlalu tenggelam dalam aktivitas organisasi. Namun pada tahun 2010, saya
menutup bab itu, saya diwisuda. Lalu saya kembali ke Ternate. Abbah menolak dua
permintaan saya yaitu menikah dan tinggal di Malang, atau merantau ke Jakarta.
Maka saya kembali ke Maluku Utara, ke Universitas Muhammadiyah Maluku Utara.
Di universitas inilah, saya
mengajar, meneliti, mengabdi. Tetapi lebih dari itu, saya menemukan ruang baru
pada tahun 2017. Saya dan beberapa teman mahasiswa mendirikan Unit Kegiatan
Mahasiswa Jurnalistik (UJ) UMMU. Saya kumpulkan anak-anak muda dari berbagai
latar agama dan organisasi. Kami mendirikan Kemah Literasi Dasar(KLD), bukan
sekadar latihan menulis, melainkan perjalanan masuk ke dalam diri. Dari sana
lahir suara-suara yang mewarnai koran, mahasiswa yang terbang ke luar negeri,
wisudawan terbaik yang membuat orang tua mereka tersenyum.
Saya selalu berkata pada mereka: “IPK
bukan milikmu. Ia adalah warisan untuk generasi setelahmu. Ia adalah senyum
orang tua di hari wisuda.”
Kini, saya telah menempuh
perjalanan panjang. Dari anak kebun, saya menjejak ruang akademik. Dari rotan
Abbah, saya menulis disertasi. Dari Bastiong, saya menembus podium universitas.
Dan akhirnya, saya meraih gelar doktor sosiologi dengan predikat cumlaude,
menyelesaikan studi yang terbilang cepat 2 Tahun 10.Bulan.
Tetapi, saya tetaplah anak
Saketa. Bau tanah kebun masih melekat di tubuh saya. Bisikan laut masih
terdengar di telinga saya. Doa Abbah masih bergema di dada saya. Dan saya
percaya, hidup ini bukan untuk diri sendiri. Hidup adalah jalan panjang untuk
menumbuhkan kehidupan bagi yang lain. Tanah mengajarkan kesabaran. Laut
mengajarkan keberanian. Dan do’a mengajarkan kerendahan hati. Dari ketiganya,
saya terus belajar menjadi pembelajar sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar