Berbahagialah Sebagai Kader [Refleksi Milad IMM]

 Sudahkah engkau menyiapkan diri agar bahagia dalam menghadapi setiap dinamika perkaderan, bahagia dalam kajian di ujung senja atau malam oleh pelukan purnama, penuh kesungguhan dalam mengemban peran, melangkah mantap dalam memikul amanah, menjaga semangat dan bahagia hingga akhir batas? Maka siapkan diri anda meniti jalan proses bersama IMM. Bersama menapaki jalan cinta; “Berlomba-lomba dalam kebaikan” sembari terus mengikhtiari capaian setiap mimpi, cita dan cinta anda. [Rahmat Abd Fatah].


Apakah karena Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) telah dan selalu membersamai pertumbuhan saya sebagai anak muda atau mungkin saja karena pernah melewati masa sulit “jatuh bangun” di IMM. Saya bahkan tidak benar-benar mengerti kenapa saya sebahagia ini ketika bicara tentang perkaderan di IMM. Atau memang bahagia tidak harus selalu membutuhkan pengertian, sebab ia hanya dapat dirasakan oleh setiap kader yang dalam suatu satuan waktu proses perkaderannya, ia menemukan titik balik kehidupan atau momentum. Sebab, kenyamanan dan kebahagiaan yang dia rasakan sebagai kader IMM.

Kebahagiaan selanjutnya menjadi emosi positif yang tidak saja dirasakan, tetapi juga dapat mengalasi perjalanan sebagai seorang kader, menjadi sebab ia tidak peduli seberapa sering permasalahan personal yang dia hadapi di rumah dan kosannya. Begitu ia masuk dalam IMM persoalan personalnya lebur menjadi bahagai bersama. Perasaan bahagia bersama ikatan itulah menjadikan ia semakin kuat, dan berani melewati tantangan-tantangan kehidupan personalnya.

Kader yang bahagia ialah yang memiliki perasaan positif ketika persoalan organisasi menghampirinya dan dengan senang hati melakukan perbaikan, sembari tidak berhenti mengembangkan dirinya secara personal sebagai kader. Dan inilah yang menjadikan seorang kader dapat menonjol di satu sisi dan terseleksi secara alamiah. Di sisi yang lain ketika ia tidak mampu beradaptasi dengan dinamika dan kolektifitas perkaderan di IMM.

Tetapi apakah ada kader yang dalam semua satuan waktu berikatan tidak pernah menemukan kebahagaiaan?. Bisa jadi ada. Ketika ia selalu diselimuti oleh perasaan negatif yang memandang setiap masalah yang dihadapi organisasnya sebagai kesulitan, terus-menerus membuatnya tidak bisa berkembang sebagai kader. Pikiran negatif ialah persepsi atau deskripsi negatif pada diri sendiri, orang lain dan organisasi.

Seorang kader yang tidak menemukan bahagia dalam proses perkaderannya, hanya akan mengeluh dan terus menerus membicarakan kekurangan organisasinya. Hasilnya, ia tidak dapat melakukan perbaikan dan capaian besar. Ia bahkan nyaman dengan ketidaknyamanan pikiran dan perasaan personalnya pada organisasi.

Jebakan Kenyamanan

Sering kita dengar bahwa penenang terbaik adalah janji, sedangkan jebakan terbaik adalah kenyamanan. Dan di awal tulisan ini saya mengatakan tidak pernah mengerti kenapa saya sebahagia ini ketika bicara tentang perkaderan IMM. Setelah menjadi alumni, baru saya menyadari terutama yang membuat saya dapat bertahan di IMM bukan karena aktivitas intelektualismenya atau demonstrasinya. Akan tetapi, yang membuat akhirnya saya dapat bertahan di IMM lantaran benar-benar terlampau mencintai IMM. Terjebak dalam kenyamanannya.

Tetapi soal kenyamanan Immawan dan Immawati (sebutan untuk laki-laki dan perempuan di IMM), anda tidak boleh terlampau baper (bawa perasaan). Apalagi terbuai kata-kata yang syahdu, janji-janji manis, penuh perhatian, terjebak dalam kenyamanan, terlampau cinta dan akhirnya diberi luka yang dalam.

Jebakan kenyamanan IMM ialah jebakan nilai. Janji IMM ialah makrifah cinta. Ia bersublim ke dalam jiwa personal kader, bergerak secara kultural dan membentuk struktur transendensi (keimanan) yang kuat. Dasarnya ialah janji Allah yang secara maknawi akan memberikan keberuntungan kepada kader IMM, yang senantiasa menjaga ikatannya dan istiqamah menyeru kepada kebaikan, mencegah kepada kemungkaran  (Al-Imran:104).

Proses jebakan IMM ialah proses pembentukan habitus kader. Sebuah kebiasaan yang dikonstruksi secara struktural dan kultural, meliputi substansi maupun simbol-simbol. Bagus Takwin, dalam pengantar buku; (Habitus x Modal) + Ranah=Praktik,2009)  mengatakan habitus (dalam pengertian Pierre Bourdieau), merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial.

Dalam proses pembentukan habitus tersebut, Bagus Takwin, mengatakan (Dalam pengertian Bourdieau) Individu kemudian mempersepsi, memahami, menghargai serta mengevaluasi realitas sosialnya. Berbagai macam skema tercakup dalam habitus seperti konsep ruang, waktu, baik, buruk, sakit-sehat, benar-salah dan seterusnya. Skema itu membentuk struktur kognitif yang memberi kerangka tindakan kepada individu dalam hidup kesehariannya bersama orang lain dalam realitas sosial.

Dalam pengertian habitus itu maka sumber bahagia kader IMM sesungguhnya ialah apa yang didilihatnya, apa yang didengarnya sama dengan apa yang dipraktikkan sebagai kerangka tindakan dalam proses pembentukan habitus yang religius, intelektualis dan praktik keberpihakan dalam substansi manifestani nilai-nilai kemanusiaan sebagai amal ilmiah dan ilmiah amaliahnya.

Maka proses pembentukan habitus kader IMM yang dimulai dari pengenalan calon kader secara kultural (Masa Ta’ruf), pelaksanaan Darul Arqam Dasar (pelatihan secara struktural), pendampingan secara struktural dan kultural setelah pelaksanaan DAD, adalah rangkaian proses pembentukan habitus kader. Sebagai ikhtiar untuk dapat menjadi bagian dari keberuntungan yang dijanjikan oleh Allah (Al-Imarn:104), dan janji untuk berkuasa di muka bumi, mendapat peneguhan agama yang telah diridhai-Nya untuk para kader yang istiqamah. Allah akan menukar keadaan mereka setelah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa, diteguhkan imannya oleh Allah dengan tidak mempersekutukan dengan suatu apapun… (Qs. An-Nur:55).

Dengan demikian, tugas utama dalam proses pembentukan habitus itu dengan melakukan oleh apa yang saya sebut dengan perkaderan empat M (4M), sebagai ikhtiar mengintegrasikan nalar akal dan nalar wahyu untuk transformasi sosial kemanusiaan. Perkaderan 4M yang dimaksud adalah perkaderan Makro Objektif (Penguatan geneologi pemikiran dan basis Keorganisasian), Makro Subyektif (Penguatan  budaya dan nilai kepemimpinan), Mikro Objektif (Pola interaksi/tindakan transformasional kader) dan Perkaderan Mikro Subjektif (Prinsip Ketauhidan, peneguhan sikap intelektualitas dan keberpihakan). Dimana masing-masing 4M memiliki spesifikasi orientasi, model dan metode sendiri, tetapi masih dalam objek yang sama yaitu melakukan penguatan teoritik-aplikatif pada tiga tahapan kompetensi dasar utama yang harus menyeluruh dan tidak boleh diubah tahapannya. Dimulai dari tahapan perkaderan kompetensi religiusitas,  intelektual dan humanitas serta penguatan proses penokohan kader (Lihat https://jurnal-umbuton.ac.id/index.php/Pencerah/article/view/966).

Walaupun model 4M masih harus dikembangkan sebagai sebuah model perkaderan, tetapi setidaknya secara makro telah memberikan gambaran sebagai jawaban atas respon persoalan dinamika perkaderan IMM secara paridgmatik (Sosiologis) dan akhirnya simaklah ayat berikut;

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh, bahwa Allah sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di Bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Allah akan meneguhkan bagi mereka  agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Allah akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa, mereka tetap menyembahku dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS.An-Nur:55)

 Ayat ini menjadi simpul pola perkaderan 4M yang memberikan syarat kemenangan kepada kader-kader IMM yang sedang menapaki proses pembentukan habitus yang transenden dan imanen untuk ikhtiar kemanusiaan universal.  Bahwa; pertama, secara sosiologis keberimanan adalah basis material kaum muda yang hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun organisasi. Sekaligus sebagai kritik terhadap Marxisme yang menyatakan bahwa struktur menentukan suprastruktur (Material menentukan kesadaran). Sehingga proses kaderisasi IMM meletakkan kesadaran (suprastruktur) di atas basis material (struktur).

Kedua, Amal Shaleh (Humanisasi) sejalan dengan semangat teori kritis yang menempatkan manusia pada subjek perubahan dengan model mikro subjektif, yakni keberpihakan sosial. Hanya saja jika teori kritis lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris (manusia saja) maka konsep mikro subjektif dalam model 4M berakar pada humanisasi-keagamaan(manasia dan ketertautan hatinya dengan sang pencipta).

Ketiga, “sebagaimana Dia (Allah) telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa “.  Jelas bahwa generasi hari ini tidak akan menjadi lebih baik kecuali dengan apa yang menjadikan generasi awalnya baik. Yaitu Rasulullah dan para sahabatnya sebagai generasi terbaik. Betapa begitu banyaknya inspirasi atas kecerdasan, cinta dan heroisme para sahabat yang usianya masih sangat mudah telah meletakkan warisan sejarah yang paling agung dalam setiap segmentasi peradaban;

“Usamah bin Zaid, memimpin sebuah ekspedisi militer yang di dalamnya ada tokoh-tokoh besar, seperti Abu Bakar dan Umar, di usianya 19 tahun. Harun Ar-Rasyid memimpin imperium raksasa yang terdiri atas tiga benua besar, yaitu Asia, Afrika dan Eropa, sedang usianya baru 22 tahun. Anaknya Harun Ar-Rasyid yaitu, Al-Amin, pernah juga memimpin pasukan besar di Khurasan lalu menang di usianya masih 11 tahun. Konstantinopel akhirnya terbuka dan memenuhi mimpi 8 abad umat Islam ditangan seorang pemuda yang usianya 24 tahun, Muhammad Al-Fatih. Maka berbahagialah di jalan ini, jalan perkaderan. Jalan para pejuang dan jalan para pecinta. **