Oleh Rahmat Abd Fatah
(Program Studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang)
Sumber Tulisan :https://ternate.bawaslu.go.id
Soemarno
S. Dalam bukunya (Karakter Bangsa dari Gelap Menuju Terang. h.19, 2010)
bertanya dengan nada miris. Kemana arah bangsa ini, beliau mau menegaskan dan
mengingatkan character building yang
pernah dianggap begitu kunci oleh Bung Karno bahwa “Jika pembangunan karakter
tidak berhasil, bangsa Indonesia hanya akan menjadi bangsa kulit. Lalu dengan
kegelisahan itu para pendiri bangsa meng-alasi kita semua dengan dasar yang
tersusun rapi dan kokoh.
Bahwa
Negara dan warga bangsa ini tidak boleh hanya sekedar mengaku bertuhan, tetapi
bahwa keimanannya juga harus berefek pada keadilan dan keberadaban sebagai
manusia dalam persatuan yang kokoh, kepemimpinan yang hikmat dan bijaksana,
menempatkan rakyat sebagai subjek perubahan dalam musyawarah yang bermakna
dalam rangka mendapatkan keadilan dan kesejahteraan pada semua warga bangsa.
Inilah
budaya demokrasi yang kuat dari bangsa ini, yang terkadang hanya dihafal,
tetapi tidak dihayati dan diamalkan dalam laku dan sikap oleh elite politik
dalam berbangsa. Hal tersebut mengakibatkan politik kita semakin “kotor” karena
berbeda antara pidato dan laku keseharian dalam kehidupan.
Lihat
saja kampanye-kampanye politik para elite. Seolah jika tidak menggunakan
sentiment identitas seperti politiasasi Suku,Agama, Ras dan antar golongan.
Politiknya seolah tidak bermakna, akibatnya apa. Kesempatan pemilih untuk
mendapatkan menu sajian kampanye yang “bergizi”.
Yang dapat menjawab kegelisahan dan harapan rakyat tidak terpenuhi. Dan yang
paling kita gelisahkan tentunya adalah dapat “merobek” tenunan bangsa yang suda
sedemiakn lama di jahit, bukan saja di jahit dengan benang-benang keberagaman
dan kemajemukan tetapi pula dengan cinta dan harapan kesejahteraan pada
rakyatnya.
Nah,
sekarang gendang pemilu(Pilpres, DPR,DPD dan DPRD) serta pilkada telah ditabuh,
apakah nanti yang tersaji adalah semakin terbukanya isu-isu atas kebutuhan
lokal yang menasional atau justeru isu nasional yang melokalisir eforia politik
2024, lalu masyarakat disatukan dalam “pesta” sentiment primordial
identitasnya. Apalagi, tentunya didukung oleh semakin terbukanya penggunaan
media sosial yang tak mengenal batas sehingga membuka ruang bagi bertaburnya Hate Speech (Ujaran
kebencian) antar sesama warga bangsa.
Wiji
Nurasih (2019), dalam artikel ilmiah “Hate
Speech dalam Masyarakat Post Truth” mengungkapkan Hate speech menjadi fenomena yang semakin nyata dalam masyarakat post truth(Pasca kebenaran) yang memungkinkan setiap orang secara
aktif memproduksi informasi, melayangkan pendaapat dan merespon setiap hal yang
ada dalam dunia maya. Dan kenyataannya, banyak kasus ujaran kebencian yang dilayangkan
melalui media sosial, pelakunya bukan saja dari politisi tetapi juga berasal
dari pengajar, karyawan dan pemuka agama.
Hate Speech
(Ujaran kebencian) ialah segala jenis komunikasi dalam bentuk ucapan ,tulisan
maupun perilaku yang merendahkan atau mendiskriminasi.
Tetapi bahwa mereka ini tidak dengan muda mengakui kekurangannya dalam
berkomunikasi, bahkan membenarkan asumsinya. Inilah yang disebut dengan era post-Truth (Pasca kebenaran) ialah era,
dimana setiap orang dan kelompok ingin tampil mempertontonkan eksistensinya. Di
eran ini orang dengan mudah membuat asumsi atas apa yang dia lihat dan
dirasakannya. Lalu percaya dengan begitu kuat. Tanpa konfirmasi atau menguji
keabsahan kebenarannya (“Menyoal Keberagamaan dan politik
identitas di era Post-Trust”. Rahmat,2019)
Keseluruhan
struktur berfikirnya tunduk pada suyektifitas dan kepercayaan pribadinya.
Sebabnya karena, di era Post-Truth inlah
setiap orang tampil sebagai nara sumber dan sumber berita. Dalam konteks yang
lebih makro, kemudian berkelompok membangun opini dengan maksud memframing politik identitasnya sebagai
suatu kebenaran yang harus diterima publik apa adanya. Meminjam Hitler dalam Mein Kampf-nya, bahwa kebohongan jika dikatakan secara terus menerus akan
dianggap sebagai kebenaran oleh public(“Menyoal
Keberagamaan dan politik identitas di era Post-Trust”. Rahmat,2019)
Itusebabnya
tentu kita berharap bahwa secepatnya para elit politik nasional maupun di
daerah membangun konsenses nasional dan lokal, agar setidaknya dapat mengurangi
penggunaan politik identitas dalam kampanye politiknya, kemudian bersepakat
mempersembahkan menu terbaik dan
berkulitas bagi rakyat dengan politik gagasan, yang tumbuh dari hasil kajian
atas keterbelakangan dan kemiskinan rakyatnya karena bukankah kebahagiaan dan
kesejahteraan rakyatlath yang menjadi motif utama hadirnya budaya demokrasi
yang demokratis.
Budaya
demokrasi yang sudah demokratis, yaitu toleran dan akomodatif terhadap
perbedaan (Almond dan Verba, 1963; Huntington, 1984), mendorong partisipasi dan
tradisi kewargaan di level lokal. Melahirkan komitmen warga yang luas,
membentuk komunitas warga dan mewujudkan hubungan horizontal; Amanah,
toleransi, kerjasama dan integrasi (Putnam,1993).
Anthony
Giddens(Sosiolog) menyebutnya dengan pendalaman demokrasi atau demokratisasi
atas demokrasi (democratizing democracy).
Bagi Giddens sumbangan penting dari demokrasi adalah membangun hubungan
dialogis yang didasari oleh trust
antar sesama individu dan kelompok. Demokrasi dialog bagi Giddens harus
didasarkan atas kepercayaan (trust)
dan sebaliknya, trust diperkuat lewat
dialog yang berulang(Beresaby, 2004) Menafsir Giddens dalam teori
strukturasinya, bahwa hubungan yang mesti dibangun adalah hubungan dualitas
yang diperkuat dengan kepercayaan. Bukan hubungan dualisme, yang menempatkan
masyarakat hanya sebagai objek. Atau sebaliknya masing-masing tampil
mempertahankan eksistensinya yang dangkal
dengan terus menebari kebencian (Hate
Speech) antar sesama warga bangsa[].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar