Rahmat Abd Fatah (Pengajar Sosiologi Politik Universitas Muhammadiyah Maluku Utara)
Sumber Tulisan: MalutPost, Kamis 6/6/2022
M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menyatakan. Kata as-Salam diambil dari akar kata Salima yang maknanya berkisar pada keselamatan dan keterhindaran dari segala yang tercela. Dalam syarah kitab Riyadhus Shalihin, Al-Utsaimin mengungkapkan bahwa as-Salam mempunyai makna ad-do’a yaitu keselamatan dari segala sesuatu yang membahayakan, karena merugikan, atau merusak. Maka sejalanlah dengan Salam Awas 2024. Dimana, ia bukan saja sekedar ungkapan, kata-kata. Tetapi adalah bahasa yang bermakna. Ia mengandung harapan, cinta, kesungguhan jiwa dan raga dalam pengabdian kepada bangsanya.
Kedua, dalam pengertian umum adalah pengawasan yang
dilakukan bawaslu terhadap jajarannya, juga pengawasan yang dilakukan oleh
masyarakat dan semua elemen bangsa dalam pemastian penyelenggaraan pemilu dan
pemilihan kepala daerah berjalan secara jujur dan adil. Dan ketiga, bermakna Represif yaitu
penangguhan atau pembatalan bahkan sampai pada pidana sebagai penanda efek jera
yang disebut dengan penindakan.
Secara terbuka, Muksin Ambrin. Ketua Bawaslu
Maluku Utara pada tanggal 11 Mei di Ballroom Muara Hotel Ternate dan tanggal 24
Mei di Mozaik Caffe Ternate [https://malut.bawaslu.go.id] Mengungkapkan bahwa
masalah penganggaran, Sumber Daya Penyelenggara dan regulasi pemilu dapat
mewarnai kompleksitas persoalan pemilu 2024.
Keserentakan pemilu dan pilkada 2024 memang
memuat kompleksitas persoalan, secara sosiologis, bisa dilihat dengan
perspektif strukturasi Giddens. Bahwa hubungan antara dan inter struktur
kelembagaan penyelenggara dan pemerintah, juga hubungan antara Bawaslu sebagai
struktur dan individu pada masyarakat sebagai agen mengalami hubungan dualisme
bukan hubungan dualitas. Masing-masing pihak masih menguatamakan eksistensinya
bahkan menunjukan ketidak peduliannya.
Problem strukturasi antara penyelenggara dan
pemerintah dalam soal penganggaran misalnya, pemerintah “seolah” menciptakan
politik ketergantungan. Bahwa bawaslu membutuhkan “saya” bisa ditafsir “Saya”
sebagai pribadi Gubernur, Wali Kota atau Bupati dan “Saya, bermakna kami”
sebagai pemerintah. Dan di sisi yang lain, Bawaslu tidak mau kalah, lalu
menebar ancaman penundaan pemilu (kada), dan mungkin juga dengan upaya
komunikasi yang lain agar anggaran bisa cair sesuai kebutuhan penyelenggaraan
pemilu.
Begitupun problem strukturasi antara Bawaslu dan
penyelenggara Pemilu di setiap tingkatannya. Terutama penyelenggara yang
bersifat Ad Hoc. Ketua Bawaslu Maluku
Utara mengakui ada problem serius soal SDM di tingkat ad hoc ini, diantaranya juga adalah kurangnya peminat untuk
mendaftar sebagai pengawasan pemilu di tingkat ad hoc.
Soalan tersebut. Saya punya cerita menarik 2015
lampau, sebagai Ketua Panwascan Ternate Tengah. Dimana KPPS bersikeras dan
selalu tidak mendengar arahan Panwascam
alasannya sederhana “ Ngoni samua ini orang baru, jangan sok-sok kase
ajar, kase inga torang, torang ini so jadi PPS dan KPPS mangkali ngoni belum
lahir (Kalian orang baru, jangan ngajari kami, mengingatkan kami. Kami ini suda
jadi penyelenggara sejak lama, mungkin anda belum lahir). Lalu selang beberapa
hari kemudian kami memanggil yang besangkatan (Berdua) karena dugaan
pelanggaran. Lalu setelah dipanggil, kami mulakan dengan bertanya tentang
kondisi kesehatannya, kondisi psikisnya dan selalunjutnya kami mengambil
sumpah. Di situasi ini, mereka benar-benar bingung dan hanya kata maaf yang
mereka sampaikan karena kurangnya pengetahuan.
Cerita di atas adalah suatu pesan yang kuat
tentang Salam Awas 2024. Yaitu tentang kesiapan, tentang kesadaran untuk terus
meperbaharui pengetahuan kepemiluan, apalagi 2024 adalah pelaksanaan pemilu
juga pemilihan kepala daerah. Sebab itu ada dua undang-undang yang digunakan;
yaitu Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang Undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilukada. Belum lagi pada 11 tahapan
penyelenggaraan, juga disertai peraturan bawaslu dan KPU serta pedoman
teknisnya.
Kenapa memahami kedua UU tersebut di atas
penting, karena jika salah memahami tentu juga salah dalam penerapan. Perbedaan
keduanya sangat mencolok, bahkan istilah dan lembaga penangananpun berbeda.
Misalnya pada pemilu dikenal dengan pelanggaran administrasi pemilu. Sedangkan
pada pilkada disebut pelanggaran administrasi pemilihan. Begitupula sengketa
proses pemilu di Bawaslu dan pada pilkada dikenal dengan sengketa pemilihan
yaitu; sengketa antar peserta pemilihan dan sengketa antara peserta dengan
penyelenggara pemilihan. Sengketa proses pemilu di Pengadilan Tata Usaha
Negara-PTUN. Dan pada pilkada Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan-PTTUN dan
MA. Sedangkan dalam hal perselisihan. Di Pemilu dikenal dengan PHPU (Perselihan
Hasil Pemilu) sedangkan di pilkada dikenal dengan PHP. Bukan Pemberi Harapan
Palsu tetapi Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP).
Salam Awas 2024 bagi saya juga adalah pesan yang
sangat kuat tentang pentingnya partisipasi masyarakat, bukan saja dalam
pemilihan, tetapi juga pengawasan terhadap suara yang telah diberikan. Yaitu
mengawasi suaranya sendiri. Pun memang tidaklah muda menciptakan kesadaran simbolik
dan substantif berupa kesadaran kritis, pengetahuan dan keterampilan teknis
keterlibatan masyarakat dalam pengawasan. Tetapi bukan berarti tidak bisa. Apa
yang telah dilakukan oleh Bawaslu Kota Ternate patut kiranya diapresiasi.
Mereka menggerakan Alumni SKPP (Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif), juga
membentuk nama simpul atau forum dengan kecerdasan lokal sehingga mudah dikenal
dan di ingat, seperti Forum MARASAI (Mari Awas Pemilu) juga ada kelas KADERA
BESI (Kelas Demokrasi, Bersama-Bersinergi) karena itu bukan kadera biasa
tentunya.
Begitupula hadirnya Notes from Ternate; Catatan
Pengawasan Pilkada Ternate tahun 2020 adalah suatu terobosan komisioner Bawaslu
Kota Ternate Rusly Saraha yang sangat luar biasa. Prof. Dr.Muhammad,SIP,M.Si
menyebut bukunya “Genit tapi menggigit”. Pilihan diksi yang jenaka menjadi
kekuatan utama dalam buku ini kata Prof.Muhammad. Saya sendiri menyebutnya
“Bawaslu Gigit ni”. Yaitu tegas tetapi tidak menebari ketakutan. Seperti
himbauan yang disampaikan Rusly Saraha kepada masyarakat agar tak perlu takut atas kehadiran petugas
dalam Verifikasi faktual; “Jangan lupa buka pintu rumah kita lebar-lebar, bukan
pintu hati yang berdebar-debar”. Sebab kerja
pengawasan tidaklah mudah, maka kerja kreatif dan inovasi yang di “kawinkan”
dengan kecerdasan lokal (Karifan Lokal) menjadi sangat penting sebagaimana yang
ditunjukan Komisioner Rusly Saraha.
Untuk maksud itulah
kerja-kerja kreatif, inovatif dan dialog yang komunikatif dengan seluruh elemen
bangsa yang terbentuk dalam simpul-simpul Awas 2024. Perlu terus digalakan.
Misalnya upaya melahirkan kesadaran pemilih pemula (Pelajar dan Mahasiswa)
tentang sikap kritis pengawasan partisipatif, seperti pengawasan terhadap
budaya pragmatis-transaksional pada pemilu 2024 nanti. Juga pentingnya
keterlibatan para pemangku kepentingan dan para relawan untuk terlibat dalam
substansi-manifestasi pengawasan partisipatif.
Salam Awas 2024 juga
bermakna perasaan deterrence effect yaitu adanya perasaan takut agar tidak
mencoba dan atau melakukan pelanggaran regulasi pemilu dan pemilukada. Juga
sikap kehati-hatian dari para penyelenggara Pemilu untuk bekerja sesuai azas
Pemilu. Salam Awas 2004 adalah pesan
kepada semua elemen bangsa.
Karena Pemilu yang berkualitas bukan saja melahirkan pemimpin bangsa yang
amanah dan mendapat legitimasi yang kuat dari rakyat. Tetapi juga terjaminnya
suara masyarakat yang disalurkan lewat Pemilu sebagai hak konstitusionalnya
tidak ternodai[].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar