Oleh Rahmat Abd Fatah
(Mahasiswa Program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang)
Dimuat pada Selasa/14/6/2022 di Koran Harian Fajar Malut
Pada tanggal 10 Juni 2022, telah beredar di WAG tentang PKPU Nomor 3 Tahun 2022. Yakni, jadwal penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024 yang dintandatangani Menkumham Yasonna Laoly pada 9 Juni 2022. Dimana tahapan dimulai dengan pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu pada Jumat, 29 Juli 2022, sampai pada rekapitulasi hasil penghitungan suara pada Rabu, 20 Maret 2024.
PKPU
tersebut di atas sekaligus menjadi awal gegap
gempitanya perhelatan politik Akbar karena dilakukan serentak, yaitu
pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah 2024. Tentu dalam situasi ini. Para
politisi telah mempersiapkan sekaligus mempertimbangkan cara untuk memenangkan pemilu
dan pilkada, bahwa apakah para kandidat juga sedang mempersiapkan dan
mempertimbangkan penggunaan uang, barang atau materi lain untuk memobilisasi
dukungan electoral.
Burhanudin Muhtadi (2019) mengatakan Semakin dekat dengan jadwal pemilihan, semakin besar tekanan psikologis untuk membeli suara. Inilah yang disebut Burhanudin Muhtadi dengan Normal baru dalam pemilu paska orde baru. Temuan risetnya menyatakan daulat uang menjadi praktik normal baru (new normal) yang menentukan irama permainan dalam kompetisi elektoral di Indonesia.
Riset
Burhanudin tentang Politik Uang dan New
Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru itu, mengajukan pertanyaan Seberapa
banyak politik uang di Indonesia, dan seberapa efektif mempengaruhi pilihan. Ia
menemukan bahwa proporsi pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019
di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut
standar internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan
peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia (Burhanudin,2019).
Burhanudin
Muhtadi juga menegaskan bahwa sistem proporsional terbuka berkontribusi atas
maraknya politik uang karena caleg dipaksa bertarung antar sesama caleg dalam
satu partai untuk mengejar personal vote.
Kemudian karena kursi yang diperoleh partai diberikan kepada kandidat dengan
suara terbanyak, maka mereka hanya memerlukan “sedikit” suara untuk mengalahkan
rival separtainya. Politik uang
merupakan mekanisme diferensiasi seorang caleg dalam rangka memberi nilai lebih
di mata pemilih dibanding pesaing internal (Burhanudin,2019).
Temuan
Burhanudin di atas, menjadi gambaran awal tentang bagaimana Vote Buying sulit di bayangkan untuk
tidak menjadi noda, yang dapat mewarnai pesta demokrasi 2024. Vote Buying (politik uang atau politik
transaksional) ialah bentuk distribusi uang tunai kepada pemilih menjelang
pemilihan (Aspinall & Berenschot, 2019) Bahwa Vote Buying menjadi strategi
elektoral yang dipilih oleh politisi karena menjadi pilihan rasional.
Perubahan
system pasca reformasi memiliki tuntutan yang ketat bagi kandidat untuk
memiliki kompetensi-kompetensi dasar. Seperti pengetahuan tentang system
politik, pemerintahan dan terlebih pengetahuannya tentang kondisi sosiologis
dan psikologs masyarakatnya. Jikapun tidak ada, maka system proporsional
terbuka memberi ruang bagi kesiapan dasar materi (Uang) yang kerap menjadi
faktor utama yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih.
Seperti
disampaikan (Aspinall,2015) bahwa System proporsional terbuka mendorong
kandidat untuk menempuh strategi personal dengan kesiapan modal politik uang.
Penguatan Tim sukses dan pemanfaatah club
goods, seperti Pemberian bantuan rumah ibadah, lapangan bola kaki dan
berbagai kelompok atau komunitas lainnya. Yang secara umum terjadi jelang
perhelatan politik. Kata Aspinall “Memang uang tak menjamin kesuksesan
elektoral, tetapi kapital akan meningkatkan peluang untuk menang”.
Fenomena
Vote Buying kemudian menjadi tindakan
rasional instrumental dalam tindakan
sosial Max Weber. Bahwa kemudian individu-individu di dalam masyarakat
memberikan makna uang sebagai alat rasional. Padahal juga tidak seberapa jumlah
uang yang didapat, tetapi bahwa mereka merasa tunai dengan suara yang diberikan
oleh kandidat. Dengan begitu maka kandidat tidak memiliki beban apapun terhadap
masyarakat yang memilihnya karena juga adalah bagian dari tindaka rasional instrumental atas pemberian
uangnya kepada individu-individu di dalam masyarakat maupun secara kelompok(club goods).
(Burhanudin
Muhtadi,2019) kemudian mengatakan, bahwa sebagai akibat proporsional terbuka, membuat
pemilu makin candidate-centric,
hubungan partai dan menjadi merenggang. sehingga pemilih tak lagi menjadikan
partai sebagai variabel dalam menentukan pilihan, tapi mereka justru tertarik iming-iming jangka pendek yang
ditawarkan kandidat. Burhanudin dengan tegas mengatakan, sistem proporsional
terbuka bertanggung jawab atas merosotnya kedekatan pemilih terhadap partai (party ID).
Data
survei nasional terakhir yang direkam Mei 2019 oleh Burhanudin menemukan hanya 10% pemilih
yang masih memiliki kedekatan dengan partai. Akibatnya, kampanye programatik
berbasis ideologi dan kebijakan partai makin tak laku. Karena itulah rendahnya party-id memiliki kontribusi terhadap
meningkatnya praktik politik uang di tingkat massa. Semakin rendah party-id seseorang, semakin besar
kemungkinan dia menerima praktik politik uang. Sebaliknya, semakin tinggi
tingkat party-id pemilih maka semakin
rendah sikap penerimaannya terhadap politik uang (Muhtadi, 2013).
Bahkan
(Stokes, 2005), sebagaimana yang di kutip (Kadek Dwita Apriani dan Irhamna,2020)
bahwa partai politik tidak perlu menghabiskan sumber daya kepada pemilih yang
sudah memiliki loyalitas/identifikasi terhadap partai politik tertentu, mereka
hanya perlu fokus untuk mengalokasikannya untuk pemilih yang masih belum
menentukan pilihan (swing-voter).
Padahal
fungsi komunikasi politik dan pendidikan politik yang diemban partai politik,
adalah strategis dalam membangun pemilih yang cerdas dan berkesadaran holistic.
Bahwa politik uang bukan saja mencederai demokrasi tetapi juga integritas
personal individu sebagai manusia yang memiliki basis nilai dari Tuhannya dan
nilai budayanya seperti nilai-nilai Jou
sengofa ngare di Ternate.
Lalu
apa yang mesti dilakukan untuk menangkal tumbuh suburnya politik uang. Hemat
saya jawabannya adalah anak muda. Jika politik uang dimaknai sebagai noda hitam
yang mencederai kualitas demokrasi kita, juga
jika mengambil uang kandidat adalah merendahkan diri atas integritasnya,
juga jika politik uang yang dilakukan kandidat adalah sama dengan menempatkan
masyarakat hanya sebagai alat kepentingan politik sesaat bukan sebagai manusia.
Maka
kerja-kerja pencegahan melalui anak muda yang kreatiflah dapat menangkal
politik uang. Karena itu Bawaslu dengan strategi pencegahan, suda semestinya
terus meningkatkan kerjasamanya dengan masyarakat. Terutama dengan anak-muda
kreatif. Kehadiran mereka bukan sekedar turut bertanggung jawab melapor
pelanggaran. Tetapi bahwa platform digital yang dimiliki para muda ini, dapat
dikemas dalam konten-konten terbaik sebagai Counter
Hegemony atas dominasinya praktik politik uang di masyarakat.
Kenapa mengambil uang dianggap biasa, tidak
merasa tabu. Begitupun sebaliknya yang memberikan uang. Disebabkan karena konstruksi
sosial yang sedemikian lama di tengah masyarakat sehingga disinyalir telah
tersubjektifikasi menjadi perilaku keseharian. Karena itulah tidak salah
menggandeng berbagai platform digital, seperti Facebook, Whatsapp, Twitter,
Instagram, dan berbagai platform digital agar para konten creator. Yang di
inisiasi Bawaslu dapat meng-Counter informasi
dan pengetahuan masyarakat serta semua elemen bangsa.
Bahwa pertama, kerja pengawasan bukan
milik Bawaslu. Tetapi inheren menjadi tanggung jawab semua elemen bangsa. Kedua, melalui konten-konten terbaik tentang pentingnya menjaga nilai-nilai
demokrasi yang demokratis di tengah suburnya Vote Buying. Ketiga, pentingnya menjaga integritas dan keempat, mengkonstruksi perasaan tabu
atas praktik Vote Buying[].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar