Menyoal keberagamaan dan Politik identitas di Era Post-Truth


Oleh Rahmat Abd Fatah
Pembelajar Sosiologi di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara

Dalam karya ken Wilber, seorang Filsuf integral. Berjudul trump and the Post-Truth. World (2017). Pos-truth dikaitkan dengan nihilism, narsisme, skeptisme, dan posmodernisme. Yang pada prinsipnya menolak kebenaran universal. Realitas dan kebenaran hanyalah persepsi dan interpretasi individu. Juga, tidak ada kerangka moral dan kebenaran universal sebagai acuan Bersama. Asumsi filosofis itu menjadi dasar pijak operasi pos-truth, baik dalam bentuk fake news(berita bohong) maupun hoax (Samuel S. Lusi, “Melampaui Pos-Truth”.kolom detik.com.2019).

Karena itulah, era post-Truth (Pasca kebenaran) ialah era, dimana setiap orang dan kelompok ingin tampil mempertontonkan eksistensinya yang dangkal. Di eran ini orang dengan mudah membuat asumsi atas apa yang dia lihat dan dirasakannya. Lalu ia, mempercyainya dengan begitu kuat. Tanpa konfirmasi atau menguji keabsahan kebenarannya.
Keseluruhan struktur berfikirnya tunduk pada suyektifitas dan kepercayaan pribadinya. Sebabnya karena, di era inlah setiap orang tampil sebagai nara sumber dan sumber berita. Dalam konteks yang lebih makro, kemudian berkelompok membangun opini dengan maksud memframing politik identitasnya sebagai suatu kebenaran yang harus diterima publik apa adanya. Meminjam Hitler dalam Mein Kampf-nya, bahwa kebohongan jika dikatakan secara terus menerus akan dianggap sebagai kebenaran oleh publik.
Pos Truth, ialah era dominannya kebenaran personal. Dan abai pada kebenaran yang datang dari arah yang berbeda dari dirinya. Perbedaan pandangan apalagi pilihan politik. Dianggap sebagai musuh yang harus disingkirkan. Sehingga narasi yang digunakan dalam politik. Juga narasi yang dangkal. Sebab mengutaman subyektifitas dirinya tanpa memfilter pendapat yang berbeda.
Pos Truth. Ditandai dengan hilangnya kebenaran obyektif dan menguatnya emosi yang pada gilirannya memproduksi narasi kebencian karena, di era ini jugalah orang pandai menangkap dan mensiasati isu-isu sensitif (terutama agama dan etnis) sebagai basis mobilisasi lintasan pikiran publik. Disinilah, emosi keagamaan etnopolitik publik dikapitalisasi tanpa dasar rasional.
Dan memang begitulah yang nampak akhir-akhir ini, terlihat semakin merebaknya radikalisme politik identitas yang akut. Masing-masing pihak tampil  dengan identitas ke “AKU”annya yang paling benar dan menganggap kelompok yang  lainnya sebagai pihak yang selalu salah.  Post-truth. Akhirnya sangat berpengaruh terhadap dinamika politik lokal. Dimana, etnopolitik sering tampil mengemuka dan mewarnai keseluruhan proses politik di aras lokal.
Prof. Mahfud MD, mengatakan “ merebaknya berita bohong dan politik identitas yang semakin mengeras mengancam kesatuan bangsa Indonesia. Politik identitas yang memakai tema memperjuangkan agama sebagai alat untuk meraih kemenangan. Bahkan, kata Prof.Mahfud seringkali ada yang membawa dominasi perjuangan agama dengan analisis dangkal dan copas yang sebetulnya tujuannya adalah mengadu domba”.
Sebagaimana politik nasional. Politik di aras lokal juga tidak terlepas dari politik identitas yang digambarkan Prof. Mahfud tersebut. Kewibawaan juba, kopiah haji, bahkan ayat-ayat suci agama dan nilai budaya seringkali menjadi kekuatan legitimasi bagi hadirnya kekuasaan. Kepolosan religiusitas, juga kebaikan masyarakat lokal seringkali disalah gunakan atau lebih tepat dikapitalisasi untuk kepentingan meraih simpati.
Akun facebook. “Ternate Memilih Wali Kota 2020-2024”. Telah memiliki anggota sebanyak 4.339 pada pukul 17.18 Wit.  dan “Ternate Pangge Pulang 2020” dengan anggota sebanyak 441 pada pukul 17.19 Wit. Namun, sayangnya kedua akun ini masih saja menampilkan wajah buram politik dengan menampikan politik identitas. Bahkan hal yang remeh temeh seperti. Pemimpin tahun 2020 harus berasal dari etnis A atau B, juga lebih menyerang atau menjual eksistensi “tubuh” bukan isi kepala (ide/gagasan).     
Tantangan
Post-Truth. Tentu menjadi tantangan kita Bersama. Luntur atau hilangnya batas-batas kearifan dan keadaban berpolitik. Yang ditandai dengan bersilewerannya potongan-potongan ide berbau kelompok identitas di media sosial, turut membentuk, meminjam Yasraf dengan fatamorgana politik yaitu, sebuah metafora tentang beroperasinya berbagai citra yang bersifat halusinatif di dalam wacana komunikasi politik. Sebab itulah, diantara tantangan kita. Menafsir Yasraf Amir piliang dalam trans politik(2005) ialah;
Pertama, Pos-Truth turut menciptakan Ilmunisai politik. Yaitu, dominasinya pencerahan politik bukan dari sumber-sumber yang bersifat  imanen pada dunia politik itu sendiri (Kebajikan), melainkan dominanya sumber yang bersifat transenden (ketuhanan). Sehingga emosi religiusitas masyarakat hanya ditempatkan sebagai posisi citra dan legitimasi kekuasaan.
Kedua, Pos Truh, turut memproduksi Irasionalitas politik. Yaitu, suatu kebijakan, pereferensi, dan pilihan poltitik yang tidak didasarkan pada perhitungan rasional. Melainkan oleh dorongan irasional. Seperti mistik dan etnis. Yaitu sebuah kondisi pos-truth kebijakan. Dimana, keputusan, didasarkan oleh pertimbangan subyektif.
Ketiga, Pos trush. Juga ditandai oleh beroperasinya kekerasan semiotik dan simbolik Yaitu, kekerasan pada tingkat tanda, dalam pengertian penggunaan pada unsur-unsur tanda (ucapan, tulisan, visual) yang mengandung di dalamnya sifat dan konotasi-konotasi kekerasan. Sementara simbolik. Diartikan Yasraf. Dengan, bentuk kekerasan tak Nampak yang dilakukan secara halus melalui suatu mekanisme kekuasaan sehingga tak tampak sebagai suatu kekerasan.
Keempat. Pos-Truth. Memungkinkan beroperasinya wacana politik ke arah minimalisme politik, yaitu, beroperasinya suatu wacana politik berkualitas rendah. Baik, yang disebabkan kompetensi, keterampilan, dan intelektualitas aktornya, maupun rendahnya kualitas institusi dan struktur yang membangunnya. Karena keseluruhan prosesnya dibangun atas dasar subyektifitas. Bukan sebuah konsepsi atau sebuah visi masa depan.
     Maka, marilah kita menyelami aforisma Ibnu Khaldun dalam Mukadimahnya. Bahwa, “tanda berwujudnya peradaban umat ialah berkembangnya ilmu pengetahuan, termasuk Bahasa di dalamnya sebagai pengungkapan ide. Gagasan dan ilmu”. Dan tidaklah lebih baik, dinamika keberagaamaan dan politik di era pos-truth ini. Kecuali hanya, jika dengan kuatnya ilmu pengetahuan dalam wacana politik yang dipadu oleh imajinasi, konsepsi dan suatu visi masa depan negerinya. Bukan visi lima tahunan yang dipadu dengan permainan tanda politik identitas.




           


Tidak ada komentar: