Oleh Rahmat Abd Fatah
Pembelajar Sosiologi
Universitas Muhammadiyah Maluku Utara
Di
beranda facebok saya. Masih saja dipenuhi informasi tentang kepergian Adinda Kiki (Alm) yang telah menohok
rasa,membuncah peduli, tangis, duka, amarah.
Sebagai refleksi terdalam kemanusiaan atas
tragedi kebiadaban yang dilakukan di ruang publik.
Peristiwa
kebiadaban tersebut di atas. Menurut saya ialah fenomena gunung es, yang
membuka mata hati kita bahwa. Kekerasan seksual sebenarnya juga suda terjadi
sedemikian akut di negeri ini. Tetapi kita abai dan menganggap biasa-biasa
saja. Seringkali, komentar seksis, sentuhan, meraba, bahkan siulan dan lirikan
di tempat publik masih dianggap sesuatu yang “masa bodoh” bahkan diskusi mengenai penyebab terjadinya
pelecehan seksual juga lebih sering menyudutkan korban daripada pelaku. Bahkan
instrument negara juga begitu lemah melindungi perempuan di ruang publik.
Lihat
saja, kasus Ibu Nuril. Tindakan merekam pelaku sebagai bentuk pembelaan diri.
Dengan harapan rekaman ini menjadi bukti atas pelecehan seksual yang telah
dialaminya. Justeru sebaliknya ia dipenjara. Bahkan pengajuan kembali (PK) Baiq
Nuril di tolak oleh Mahkama Agung (MA) sesuai putusan MA tertanggal 26
September 2018 karena dinilai melanggar UU No.11/2018 tentang ITE. Sebelum
akhirnya hari senin, 29 Juli 2019. Atas desakan berbagai pihak dari sebuah
perjuangan Panjang sejak tahun 2015. Akhirnya Presiden Jokowi menandatangani
surat amnesti untuk pembebasan ibu Nuril.
Dalam
siaran Pers tentang kasus Bu nuril ini. Perempuan Pekerja, 6 Juli 2019. Mengtakan
“ instrument hukum di negara kita, belum sepenuhnya mengakomodir beragam bentuk
kekerasan seksual menjadikan kekerasan yang tidak disertai dengan bukti
kekerasan secara fisik tidak bisa dianggap sebagai kekerasan. Sehingga
pelecehan seksual verbal (Non Body Contact) tidak bisa dianggap sebagai
pelecehan. Rekaman yang dimiliki Ibu
nuril justeru menjadi barang bukti yang memberatkannya dan membuat pelaku
bebas.
Hasil
Survei “Pelecehan Seksual di Ruang Publik” Tahun 2019 yang dilakukan oleh perempuan,
Hollaback Jakarta, Lentera Sintas, dan Jakarta Feminist menemukan fakta yang
mencengangkan bahwa 52% dari 62.000 responden di seluruh Indonesia pertama kali
mengalami pelecehan seksual sebelum usia 16 Tahun, yaitu pada usia anak. Dan
Pelecehan seksual dapat terjadi di transportasi umum, jalanan, bahkan di
institusi pendidikan. Perihal ini, tentu memiliki implikasi yang serius bagi
anak. Sebab dapat mengurangi kemampuan adaptasi dengan lingkungan sosialnya.
Lalu
pertanyaannya ialah. Dimana sebab, begitu mudahnya manusia (laki-laki)
melakukan kekerasan terhadap manusia lainnya (perempuan) di ruang publik. Dalam
bukunya Gender Trouble, Judith Butler (New York: Taylor & Francys e-Library).
Mengatakan bahwa dalam kerangka heterosekxual matrix. Jenis kelamin kita
suda ditentukan secara biologis. Dengan kata lain, Kita sebenarnya hanya
dibedakan pada fungsi reproduksi dan menyesui. Kenyataan biologis itu
melahirkan dua teori; nature dan nurture.
Bahwa
secara nature. Laki-laki memiliki peran utama di dalam masyarakat karena
secara biologis. Dianggap lebih kuat, lebih potensial dan lebih produktif.
Organ reproduksi perempuan dianggap membatasi ruang gerak. Seperti hamil, melahirkan
dan menyusui. Stereotip dan dikotomi menurut paham biologis (nature). Cenderung
menghakimi perempuan sebagai objek yang tidak lagi sebagai individu dengan
keunikan kualitas yang melekat pada perempuan.
Sementara
dalam nurture. Menganggap perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukan
di tentukan oleh faktor biologis melainkan oleh konstruksi sosial masyarakat.
Bahwa peran sosial selama ini yang dianggap baku dan sebagai doktrin keagamaan.
Sesungguhnya bukanlah kehendak Tuhan dan tidak juga sebagai produk determinasi
biologis melainkan sebagai konstruksi sosial (Dr.Riant Nugroho,2008.h.22).
Menafsir
sosiolog Peter L. Berger dalam konstruksi sosial kenyataan. Fenomena-fenomena
seperti kecenderungan kekerasan seksual di ruang publik. Sudah tersusun sejak
semula dalam bentuk pola-pola. Bahwa Kenyataan hidup sehari-hari tampak sudah
diobjektivasi, sudah dibentuk oleh suatu tatanan objek-objek sejak seseorang lahir
dan bertemu dengan kenyataan sosialnya. Bahasa berulang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai sarana objektivasi yang membuat tatanan menjadi
kenyataan melalui budaya Patriarki yang masih dijunjung masyarakat.
Dengan
daya dukung budaya patriarki yang masih tumbuh kuat di ruang-ruang privat
keluarga. Menjadikan kekerasan seksual di ruang publik berpotensi (jika tidak
mau dibilang suda) membudaya di masyarakat kita. Sebagai contoh; Orang tua akan
sangat senang. Jika anaknya memiliki sifat maskulin, macho dan jantan.
Lalu bangga dan tertawa bahagia, jika anak laki-lakinya bisa bersiul dan menggoda perempuan
sebayanya yang melintas di jalan. Hal ini, dianggap lumrah. sebab, laki-laki
harus berani menghadapi perempuan, laki-laki dianggap sebagai kaum penggoda dan
perempuan dianggap sebagai kaum yang pantas di goda.
Budaya
Patriarki memang sejak Romawi, dimana imperium Romawi dibangun di atas fondasi
patriarch yang selalu menyediakan perempuan sebagai “ornament” budak-budak dari
negeri taklukan mereka. Sistem ini bertahan bahkan hingga setelah imperium
Romawi runtuh, dan diikuti oleh banyak komunitas Barat. Sekaligus menghasilkan
berbagai tokoh dengan pemikiran dan dialektika tentang feminism disetiap eranya
(Baca Sosiologi Tubuh).
Sistem
sosial yang sangat maskulin itu, menjadikan budaya patriarki semakin subur dan
kuat. Bahwa manusia perempuan harus mengabdi pada manusia lainnya yang disebut
laki-laki itu. Lalu dengan perasaan otoritas lelaki pada perempuan.
Dia(laki-laki) bebas mengatur apapun yang dimauinya. Dianggapnya semua
pekerjaan rumahan ialah kewajiban perempuan tanpa ada ruang komunikasi yang
komunikatif. Seorang suami mempraktekan budaya patriarki pada istrinya, diikuti
oleh anak perempuan dan anak lelakinya dan pertalian budaya patriarki ini terus
berjalan memutar menjadi konstruksi sosial kenyataan masyarakat.
Dalam karyanya Patricia J. Williams “Spirit-Murdering
the messenger: The Discourse of Fingerpointing as the law’s Response to
Racism”. Menjelaskan bahwa pelecehan seksual di jalan atau street
harassment ialah tindakan pembunuhan jiwa. Dimana memiliki dampak kumulatif
yang besar bagi kehidupan pribadi korban. Pelecehan seksual di ruang publik menjadi
kunci bahwa kasus-kasus ini tidak boleh diabaikan. Negara, masyarakat dan semua
elemen harusnya semakin peduli, jangan justeru setelah Nampak korban atas
kekerasan seksual barulah kita dibuat kaget dan “seolah” peduli.
Perempuan,
dengan segala keragaman identitas gender, kelas sosial dan budaya memiliki hak yang
sama untuk terbebas dari segala bentuk kekerasan seksual di ruang publik maupun
privat. Karena itulah mari kita mendukung untuk segera disahkan Undang-undang
Penghapusan Kekerasan seksual. Dimana, diakui 9 bentuk kekerasan yang salah
satunya ialah pelecehan seksual. Baik dalam bentuk tindakan fisik ataupun non
fisik. RUU ini juga mengakui keterangan korban. Informasi elektronik sebagai
alat bukti lain yang memberi peluang bagi korban untuk bisa memenuhi syarat pembuktian.
Sebab,
pekerjaan untuk meng-counter konstruksi sosial masyarakat atas tumbuh
suburnya budaya patriarki, tidak boleh hanya dilakukan satu dua entitas saja.
Namun bersinergi dengan semua pihak. Negara harus hadir dengan instrument
hukum, Pendidikan dan proses pembudayaan yang lebih memihak sampai pada
ruang-ruang privat. Sebab sejatinya, menghilangkan kecenderungan kekerasan
seksual pada perempuan ialah soal sistem berfikir yang suda terkonstruk secara
sosial.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar