Ilusi Ideologi PKS?

Rahmat Abd Fatah
Pembelajar Sosiologi UMMU

Dimuat pada tanggal 4 Juli 2018. Di Koran Harian Malut.Post. Bisa diakses di http://news.malutpost.co.id/index.php/read/2018/07/04/13/4204/ilusi-ideologi-pks

Ikutnya dua kasuba dalam pemilihan Gubernur di Maluku Utara. Dibaca secara spontan bernada “mengejek”dimedia sosial sebagai ekpresi terhadap orientasi kekuasaan ansich terhadap keduanya. Sebuah artikel yang ditulis Erizal di portal-islam.com  tentang hilangnya basis PKS satu per satu mengherankan pencalonan AGK melalui PDIP dan celakanya menurutnya jika kakak beradik, kalah. Bukan hanya basis yang hilang, keluargapun berantakan. Tulisan tersebut tidak sepenuhnya salah. Sebab ekspresi yang berlebihan dari dan antar keluarga sendiri di media sosial. Terutama facebook terlampau ekspresif dan maaf “vulgar”.
 
Barangkali juga hal tersebut merupakan puncak Pembelahan internal PKS yang “mungkin” paling ekstrim dalam sejarah perjalanan PKS di Maluku Utara. Pembelahan tersebut telah mewujud perlawanan (secara terbuka) dari beberapa kiyada(Pimpinan) di PKS karena tidak tahan dengan langgam politik yang dinilai tidak lagi ideologis dalam pilihan-pilihan politik akomodatif. Yang dinilai selalu beririsan dengan etnopolitik(sukuisme) internal. Sebaliknya aktor politik (pimpinan) yang berada di barisan struktur partai menganggap para kiyadah(majelis Syuro) yang tersebut di atas juga tidak lagi ideologis dan selalu berposisi antagonis dalam struktur partai.
Langgam politik tersebut seolah saling “menuduh” lalu kemudian mengemuka menjadi kehilangan nalar rasionalitas transendennya di hadapan publik. Itulah mungkin yang paling ekstrim adalah ketika bertransformasi secara terbuka dan menjadi tontonan publik di media sosial. Terutama facebook. PKS bukan lagi seolah tetapi nyata mengalami kegersangan ideologi atau lebih tepat sebagian kader-kader PKS telah memasuki fase dekonstruksi dirinya sendiri dalam mengintegrasikan nalar wahyu, relasi eksistensi dirinya dan realitas politik material di arena politik lokal.
Bermula dari konflik manifest  PKS di Selatan Halmahera, penulis lalu Scranshot beberapa orkestra “balas pantun” oleh kader yang bukan pemula lagi memuaskan “hasrat” ketidak sukaannya terhadap sesama kader di media sosial (facebook) bahkan masalah yang sangat privasi sekalipun ditontonkan ke hadapan publik. Entahlah mungkin itu adalah satu dari sekian cara untuk memaafkan antar sesama. Tetapi, jika ada cara yang lebih lunak dari itu kenapa tidak dengan cara yang lain, atau mungkin mau saling membunuh, “bunuhlah dengan cara diam dan baik-baik”. Sebab sesungguhnya PKS suda terlampau besar dan sebab itu bukan lagi milik kelompok tertentu atau orang perorang sebab pula efek sosial keagamaan pada simpatisan dan kader pemula harusnya dipikirkan dengan tidak boleh dikorbankan.
              Keikutsertaan dua kasuba di arena politik lokal dan konflik yang semakin terbuka tersebut. Menjadi menarik untuk disimak sesungguhnya sebagai bentuk lemahnya eksisistensi partai dalam mengekspresikan ideologinya. Bahwa PKS sejak kelahirannya sesungguhnya tidak bergantung pada ketokohan personal tetapi pada kerja kolektif ideologis. PKS sejak kelahirannya telah memegang prinsip bahwa partai, system apalagi ideologinya adalah utama di atas ketokohan personal. Secara subyektif, PK dan kemudian PKS berjuang dengan dasar akidah, asas dan moralitas islam untuk mencapai tujuan terwujudnya masyarakat madani yang adil, sejahtera dan bermartabat. PKS memandang ideologi adalah sistem kepercayaan atau tatanilai yang diperjuangkan dan dijabarkan dalam totalitas kehidupan.
              Dimensi “ide” dari ideologi memberikan bingkai konsepsi bagi pemahaman, arah perjuangan dan dasar pergerakan bangsa. Sementara dimensi keyakinan memunculkan komitmen, militansi dan fanatisme positif yang memicu gairah dan darah perjuangan, sekaligus memompa api semangat rela berkorban. Manusia tanpa ideologi hanya akan mengejar peradaban material, namun hampa dalam aspek emosional dan spritual sehingga teralienasi dan kehilangan identitasnya yang sejati, mengalami disiorentasi dan kegersangan hidup (Platform PKS, DPP 2007).

Ilusi Ideologi PKS?
Dialektika yang mengitari perjalanan PKS memang menarik untuk disimak, dimana relasi ideologi yang dibangun dengan ketat melalui proses tarbiyah yang berjenjang dan ketat harus berhadapan dengan kenyataan material politik lokal. Yang kerap pula menuntut semua partai untuk lebih realistis dan harus berkompromi kepada hal-hal yang tidak bisa difahami oleh semua kader-kadernya sendiri apalagi simpatisannya.
Dalam perspektif sosiologi kritis. Ideologi seringkali hadir sebagai ilusi murni, tidak berelasi dengan kenyataan adanya. Pun ada, hanyalah ilusi yang memunculkan halusinasi sang subjek(Anggota Aparatus ideologis) sebagai bentuk legitimasi bagi hadirnya kekuasaan personal dan kelompok untuk menguasai sumber daya tertentu. Louis Althuser mengatakan “…Ideologi sungguh-sungguh membisikan sebuah kiasan tentang realitas dunia di balik representasi dunia itu sendiri”.
Tesisnya yang pertama, (Althuser.39), bahwa ideologi adalah sebuah representasi relasi individu-individu imajiner pada kondisi nyata dari eksistensinya. Bahwa ideologi adalah ilusi yang membisikan sebuah kiasan tentang realitas, mereka hanya perlu di tafsirkan untuk mengungkapkan realitas dunia di balik representasi dunia itu.
Di dalam ideologi, manusia merepresentasikan dirinya sendiri dalam bentuk imajiner. Sayangnya kata Althuser, penafsiran ini memunculkan masalah kecil “mengapa manusia membutuhkan perubahan imajiner ini dari kondisi-kondisi eksistensinya yang nyata”?.
Jawaban pertama oleh Althuser dengan mengambil  fenomena dari abad ke 18. Menyatakan solusi yang sederhana bahwa “para pendeta atau raja lalim adalah para pihak yang bertanggung jawab. Mereka memalsukan kebohongan-kebohongan yang indah, dengan kepercayaan bahwa susungguhnya mereka tengah mentaati tuhan, manusia patuh kepada para pendeta dan raja tersebut”. Biasanya kata Althuser, para pendeta bersekutu dalam penipuan berperan untuk berbagai kepentingan raja ataupun sebaliknya.
Jawaban kedua(jawaban dari Feuerbach tulis Althuser) bahwa penyebab kedua bukan lagi para pendeta atau raja, bukan pula imajinasi aktif atau imajinasi pasif mereka terhadap korban-korbannya, namun disebabkan oleh keterasingan material yang menguasai kondisi-kondisi manusia itu sendiri. Itulah belakangan Marx mengambil dialeketikanya Feurbach tentang kuasanya faktor ekonomi di dalam eksistensi manusia.
Tesis (Althuser.42) yang kedua adalah ideologi memiliki eksistensi material. “bahwa ideologi tidak memiliki bentuk ideal dan spiritual, melainkan keberadaan material, eksistensi ideal dan spiritual dari ide-ide muncul secara tertutup dalam sebuah ideologi dan ideologinya ideologi”.
Bahwa seorang individu percaya pada tuhan, kewajiban atau keadilan di dalam suatu representasi ideologis yang mereduksi ideologi sebatas ide, yang pengertian atasnya di cangkokan dengan eksistensi spiritual para kiyadah(pimpinan), berasal dari gagasan-gagasan individu yang dipertimbangkan dengan segenap keyakinannya membentuk kesadaran subjek untuk mengikuti secara alamiah konstruk ideologi sang subjek utama.
Althuser mengatakan, individu-individu tersebut berperilaku dengan cara tertentu, mengadopsi sikap praktis tertentu di dalam berbagai praktik aparatus ideologi. Jika ia percaya pada Tuhan kata Althuser. Ia akan berdoa, berlutut, membuat pengakuan dosa dan seterusnya.
Jika ia percaya pada kewajiban, ia akan memiliki sikap-sikap yang koresponden dengan apa yang ditulis di dalam praktik-praktik ritual. “menurut prinsip-prinsip yang benar”. Jika ia percaya pada keadilan, ia akan tunduk tanpa syarat pada aturan-aturan hukum, menyuarakan protes jika aturan-aturan tersebut dilanggar, menandatangani petisi, mengadakan demonstran, dan lain-lain.
Disepanjang skema ini kata Althuser, kita mengamati bahwa representasi ideologi yang ideologis sendiri dipaksa untuk mengakui bahwa setiap subjek diberkahi sebagai sebuah kesadaran dan percaya pada ide-ide yang diinspirasikan oleh kesadaran tersebut. Sungguh, jika ia tidak melakukan sesuatu yang harus dilakukan sesuai dengan fungsi yang dipercayai di dalam aparatus ideologi atau bertindak berdasarkan ide-ide yang lain, dirinya dianggap tidak konsisten. Namun lanjut Althusr “tidak seorangpun yang sudi menjelma menjadi penjahat dan sinis”. Pasti ada sebabnya.    
Semakin dalam pembacaan kita terhadap relasi eksistensial dan relasi ideologis di daerah ini(PKS Maluku Utara), semakin kita menghampiri pembenaran pernyataan Althuser “bahwa ideologi tidak memiliki bentuk ideal dan spiritual, melainkan keberadaan material, eksistensi ideal dan spiritual dari ide-ide muncul secara tertutup dalam sebuah ideologi dan ideologinya ideologi yaitu eksistensi ideologi material”. Dalam konteks demikian apparatus ideologi biasanya tidak lagi menjadikan sistem sebagai pegangan utama. Namun bersandar dan “pasang badan” kepada aktor secara politik bukan ideologis. 
***


     







Tidak ada komentar: