Rahmat Abd Fatah
Pembelajar Sosiologi UMMU
Sumber: rri.co.id
Jika
hendak mengobservasi perilaku manusia di areal kota ternate. Pastilah selalu
kita menemukan kenyataan dimana manusia baik secara personal(selanjutnya baca
sang subjek) maupun bergerombol dengan seenaknya membuang sisa makanan,
pembungkus atau sampah lainnya dengan tanpa merasa risih dan bersalah. Apa
sebabnya, apakah karena memang tidak ada tempat sampah yang disediakan ataukah
memang lagi lagi, ini persoalan sang subjek yang belum ada kesadaran? Lalu
bagaimana kesadaran sang subjek bisa lahir di tengah kerumunan, desakan,
kepengapan, dan kuatnya budaya konsumerisme yang terus mewabah.
Dalam tradisi filsafat barat semenjak Cartesian, ada pemahaman yang melekat khususnya mengenai subjek adalah manusia yang memiliki interioritas kesadaran, sementara alam adalah objek yang tidak memiliki interioritas dan bekerja secara mekanis(Saras Dewi,2015). Alam seringkali hanya dianggap sebagai property yang tidak memiliki nilai intrinsik, tidak ada jiwa dan bukan mahluk. Alam hanya akan relevan bagi manusia hanya jika ia mengabdi pada kebutuhan manusia semata.
Dalam
buku ekofenomenologi (Saras Dewi,2015) mengatakan, kecenderungan antroposentrik
juga coba dijelaskan James Lovelock, bahwa manusia modern masih mewarisi residu
pola pikir purba yang ingin berkuasa dan menguatamakan anggota tribalnya
semata, dengan demikian tidak peka terhadap kepentingan yang sifatnya lebih
besar. Manusia seolah di program oleh warisan pendahulunya untuk melihat alam
hanya sebatas sesuatu yang bisa di eksploitasi.
Alam
dalam banyak perspektif, hanya dianggap sebagai dunia manusia. Yaitu,sebagai
lingkungan tempat tinggal manusia agar bisa hidup dan membangun impian
kemanusiaanya. Namun bagi Merleau-Ponty(Dalam Saras,2015). Alam bukan latar
belakang bagi kehidupan manusia,tetapi memiliki relasi fundamental bagi
manusia. Relasi ini menurutnya tidak saja simetris dengan sesama manusia tetapi
juga terhadap alam maupun mahluk hidup lainnya.
Merleau-Ponty
mengatakan, komunikasi manusia dengan dunia terjalin lebih dahulu daripada
dengan pikiran. Sebelum manusia menyadari kemampuan nalar analitiknya, relasi
pertama yang ia sadari adalah hidup bersama alam, kejanggalan, keindahan,
kemegahan dan rasa takutnya terhadap alam sebelum ia bersistematika dengan
bahasa yang rumit.
Lalu ketika ia(manusia) tumbuh dan hidup di planet bumi yang terus mengalami ledakan jumlahnya. Menyebabkan manusia dan alam mengalami relasi yang timpang. Alam mengalami desakan ekologis dari perubahan tersebut. Alam tersudut dan dipaksa untuk berkompromi dengan kehadiran manusia.
Di alam manusia yang semakin padat dan terdesak itu. Biasanya, yang dikedepankan adalah kepentingan personal yang bersifat instan dan mengabaikan kepentingan yang lebih besar. Atau bahasa hari hari dikenal dengan term “taramau repot”. Akhirnya kali mati, drainase dan laut sebagai primadona untuk membuang sampahnya. Akibatnya, tidak sederhana. Bukan saja berefek pada kehidupan manusia seperti genangan air yang memicu banjir sebagaimana yang sedang terjadi di kota tercinta ini. Terserangnya wabah penyakit, menghambatnya transportasi darat, sulitnya mendapatkan air bersih, dan rusaknya areal pemukiman, tetapi juga mengancam biodata laut.
Rosydan
Arby, Pemerhati tata Kota Ternate dilaman facebooknya merisaukan untuk tidak
membiarkan masalah tergenangnya air di pusat kota ini terus terjadi pada saat
datangnya hujan. Karena kalau terus dibiarkan Menurutnya, dapat merubah level
atau kontur tanah di wilayah pemukiman dan jalan. Ia menyarankan untuk sgera revitalisasi
saluran dari hulu ke hilir, kalau tidak lima tahun kedepan Kota ini akan
menenggelamkan pemukiman warga di dataran kota.
Kesadaran
manusia biasanya akan lahir bersamaan dengan momentum dimana ia mendapati
kenyataan, bahwa rumahnya, keluarganya atau masyarakat mengalami korban akibat
dari banjir, longsor, merebaknya wabah penyakit dan akibat yang lainnya.
Barulah ia sadar bahwa ada yang salah dari dirinya selama ini dalam berelasi
dengan alam.
Secara
teologis, sebenarnya Manusia diciptakan Allah untuk juga melestarikan lingkungan
dengan cara menjaga, merawat dan tidak merusaknya merupakan bentuk keberimanan
kepada Allah swt.
Allah
SWT bersabda; “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah
(diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh
harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat
kebaikan. Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului
kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu telah membawa awan
mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di
daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam
buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan
kamu mengambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya subur dengan
izin Tuhan; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh merana.
Demikianlah kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi
orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Al-A’raf (7) : 56-58)
Ayat
tersebut sesungguhnya adalah janji yang pasti tentang keberkahan dari hujan
sebagai rahmat demi kebahagiaan umat manusia di muka bumi. Tetapi syaratnya
jelas diawal ayat tersebut adalah janganlah berbuat kerusakan di bumi setelah
diciptakan Allah dengan baik. Lalu berdoa dengan rasa takut dan penuh harap
serta selalu pada kebaikan. Jika syarat tersebut di atas juga tidak dipenuhi
oleh manusia maka juga jelas hujan dengan segala permasalahannya seperti
banjir, wabah penyakit, rusaknya biodata laut dan lainnya adalah bentuk teguran
keras Allah untuk segera berelasi baik dengan alam.
Dengan
tegas Allah mengatakan “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang
benar). Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana
kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan
(Allah).” (Q.S. Ar Rum (30) : 41-42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar