Banjir dan Sampah; Suatu Refleksi Filosofis Teologis atas Relasi Alam dan Manusia di Kota Ternate

Rahmat Abd Fatah
Pembelajar Sosiologi UMMU

Dimuat pada tanggal 10 Juli 2018. Di Koran harian Malut.Post. Bisa diakses di http://news.malutpost.co.id/index.php/read/2018/07/10/13/4387/banjir-dan-sampah-

Jika hendak mengobservasi perilaku manusia di areal kota ternate. Pastilah selalu kita menemukan kenyataan dimana manusia baik secara personal(selanjutnya baca sang subjek) maupun bergerombol dengan seenaknya membuang sisa makanan, pembungkus atau sampah lainnya dengan tanpa merasa risih dan bersalah. Apa sebabnya, apakah karena memang tidak ada tempat sampah yang disediakan ataukah memang lagi lagi, ini persoalan sang subjek yang belum ada kesadaran? Lalu bagaimana kesadaran sang subjek bisa lahir di tengah kerumunan, desakan, kepengapan, dan kuatnya budaya konsumerisme yang terus mewabah.

Problem kesadaran akan menjadi rumit sebab hal tersebut berkaitan dengan sistem berfikir sang subjek. Sang subjek yang hanya melihat pada ke “aku”annya yang rasional dan bebas akan mengesampingkan pertimbangan etis terhadap entitas non rasional. Kemampuan berakal itulah seringkali digunakan sebagai pembenaran manusia sebagai spesies terpilih dan yang lain hanya bisa mengabdi pada kebutuhan manusia.   

Dalam tradisi filsafat barat semenjak Cartesian, ada pemahaman yang melekat khususnya mengenai subjek adalah manusia yang memiliki interioritas kesadaran, sementara alam adalah objek yang tidak memiliki interioritas dan bekerja secara mekanis(Saras Dewi,2015). Alam seringkali hanya dianggap sebagai property yang tidak memiliki nilai intrinsik, tidak ada jiwa dan bukan mahluk. Alam hanya akan relevan bagi manusia hanya jika ia mengabdi pada kebutuhan manusia semata.

Dalam buku ekofenomenologi (Saras Dewi,2015) mengatakan, kecenderungan antroposentrik juga coba dijelaskan James Lovelock, bahwa manusia modern masih mewarisi residu pola pikir purba yang ingin berkuasa dan menguatamakan anggota tribalnya semata, dengan demikian tidak peka terhadap kepentingan yang sifatnya lebih besar. Manusia seolah di program oleh warisan pendahulunya untuk melihat alam hanya sebatas sesuatu yang bisa di eksploitasi.     
  
Alam dalam banyak perspektif, hanya dianggap sebagai dunia manusia. Yaitu,sebagai lingkungan tempat tinggal manusia agar bisa hidup dan membangun impian kemanusiaanya. Namun bagi Merleau-Ponty(Dalam Saras,2015). Alam bukan latar belakang bagi kehidupan manusia,tetapi memiliki relasi fundamental bagi manusia. Relasi ini menurutnya tidak saja simetris dengan sesama manusia tetapi juga terhadap alam maupun mahluk hidup lainnya. 
Merleau-Ponty mengatakan, komunikasi manusia dengan dunia terjalin lebih dahulu daripada dengan pikiran. Sebelum manusia menyadari kemampuan nalar analitiknya, relasi pertama yang ia sadari adalah hidup bersama alam, kejanggalan, keindahan, kemegahan dan rasa takutnya terhadap alam sebelum ia bersistematika dengan bahasa yang rumit.  

Lalu ketika ia(manusia) tumbuh dan hidup di planet bumi yang terus mengalami ledakan jumlahnya. Menyebabkan manusia dan alam mengalami relasi yang timpang. Alam mengalami desakan ekologis dari perubahan tersebut. Alam tersudut dan dipaksa untuk berkompromi dengan kehadiran manusia.

Di alam manusia yang semakin padat dan terdesak itu. Biasanya, yang dikedepankan adalah kepentingan personal yang bersifat instan dan mengabaikan kepentingan yang lebih besar. Atau bahasa hari hari dikenal dengan term “taramau repot”. Akhirnya kali mati, drainase dan laut sebagai primadona untuk membuang sampahnya. Akibatnya, tidak sederhana. Bukan saja berefek pada kehidupan manusia seperti genangan air yang memicu banjir sebagaimana yang sedang terjadi di kota tercinta ini. Terserangnya wabah penyakit, menghambatnya transportasi darat, sulitnya mendapatkan air bersih, dan rusaknya areal pemukiman, tetapi juga mengancam biodata laut.

Rosydan Arby, Pemerhati tata Kota Ternate dilaman facebooknya merisaukan untuk tidak membiarkan masalah tergenangnya air di pusat kota ini terus terjadi pada saat datangnya hujan. Karena kalau terus dibiarkan Menurutnya, dapat merubah level atau kontur tanah di wilayah pemukiman dan jalan.  Ia menyarankan untuk sgera revitalisasi saluran dari hulu ke hilir, kalau tidak lima tahun kedepan Kota ini akan menenggelamkan pemukiman warga di dataran kota.
Kesadaran manusia biasanya akan lahir bersamaan dengan momentum dimana ia mendapati kenyataan, bahwa rumahnya, keluarganya atau masyarakat mengalami korban akibat dari banjir, longsor, merebaknya wabah penyakit dan akibat yang lainnya. Barulah ia sadar bahwa ada yang salah dari dirinya selama ini dalam berelasi dengan alam.    

Secara teologis, sebenarnya Manusia diciptakan Allah untuk juga melestarikan lingkungan dengan cara menjaga, merawat dan tidak merusaknya merupakan bentuk keberimanan kepada Allah swt.
Allah SWT bersabda; “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan. Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya subur dengan izin Tuhan; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh merana. Demikianlah kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (Q.S. Al-A’raf (7) : 56-58)

Ayat tersebut sesungguhnya adalah janji yang pasti tentang keberkahan dari hujan sebagai rahmat demi kebahagiaan umat manusia di muka bumi. Tetapi syaratnya jelas diawal ayat tersebut adalah janganlah berbuat kerusakan di bumi setelah diciptakan Allah dengan baik. Lalu berdoa dengan rasa takut dan penuh harap serta selalu pada kebaikan. Jika syarat tersebut di atas juga tidak dipenuhi oleh manusia maka juga jelas hujan dengan segala permasalahannya seperti banjir, wabah penyakit, rusaknya biodata laut dan lainnya adalah bentuk teguran keras Allah untuk segera berelasi baik dengan alam.
Dengan tegas Allah mengatakan “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar). Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (Q.S. Ar Rum (30) : 41-42

    


Tidak ada komentar: