Romantisme dan Duka Sebagai Komoditas Politik?

Sumber:https://www.istockphoto.com/id/foto-foto/romeo-montague-ilustrasi

Di negeri yang gemerlap oleh laut biru dan pegunungan hijau, sebuah tragedi menggema, membawa duka ke setiap sudut dan hati di Maluku Utara. Beni Laos, seorang sosok penuh harapan dan visi, harus berpulang dengan cara yang tragis. Istrinya yang selamat namun terluka, menjadi simbol hidup yang penuh duka dan cinta, ia merajut kenangan cinta yang kini berbalut duka di mata publik. Namun, dalam duka yang menyelubungi ini, tiba-tiba politik berbisik, bermain di sudut hati yang sedang terluka, dan romantisme bersama duka menjadi komoditas yang menggiurkan?

Pemimpin Non-Muslim di Negara Mayoritas Muslim. Apakah boleh?

Dalam ajaran Islam, persoalan tentang kepemimpinan non-Muslim di negara mayoritas Muslim telah menjadi subjek diskusi yang cukup mendalam di antara para ulama dan pemikir Islam.

CINTA DAN BELA (SUNGKAWA) DI ATAS BATAS SYARIAT; SUATU PERSPEKTIF TEOLOGIS DAN SOSIOLOGIS


Setiap jiwa merasakan bahwa cinta tak mengenal batas. Namun, ketika perbedaan keyakinan hadir di antara tali-tali hubungan kemanusiaan, timbul pertanyaan, di manakah batasan rasa sayang dan cinta dalam mengucapkan belasungkawa bagi saudara non-Muslim? Sebuah pertanyaan yang menghadirkan renungan di hati umat Islam tentang cinta yang berjalan di batas-batas syariat

 

Di tepian pertemuan antara iman dan kasih, Ada batas cinta dalam ucapan belasungkawa bagi saudara non-Muslim yang telah meninggalkan dunia. Itulah Cinta dalam Batasan Ketentuan Ilahi. Allah SWT menegaskan dalam Surat At-Taubah ayat 113:

“Tidaklah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik, walaupun mereka itu adalah kaum kerabat, setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113)

Ayat ini turun ketika Rasulullah SAW mendoakan ampunan bagi pamannya, Abu Thalib, yang wafat tanpa memeluk Islam. Bahwa betapa Nabi yang penuh kasih sayang dan cinta pada pamannya, berharap ampunan bagi pamannya. Namun, turunlah ayat ini sebagai pedoman bahwa cinta pada saudara non-Muslim harus diiringi dengan batasan yang ditentukan Allah. Ketentuan ini adalah manifestasi ketundukan dan pengabdian sepenuhnya kepada kehendak-Nya.

Di sinilah letak batas itu berdiri, menegaskan bahwa mendoakan rahmat atau ampunan bagi mereka yang telah meninggalkan dunia tanpa keimanan pada-Nya, adalah sesuatu yang terlarang. Namun, batasan ini tidak menutupi sinar kasih yang bisa tetap bersinar bagi mereka yang masih hidup—kita mendoakan ketabahan dan ketenangan bagi mereka yang ditinggalkan. Belasungkawa tetap menjadi bagian dari akhlak seorang Muslim, karena Islam mengajarkan untuk bersikap baik pada siapa pun . Kisah serupa dijelaskan dalam Surat At-Taubah ayat 84:

“Dan janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) melaksanakan salat (jenazah) untuk seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah engkau berdiri(mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. At-Taubah: 84)

Ayat ini turun untuk memberikan batasan kepada Rasulullah agar tidak melaksanakan salat jenazah bagi orang-orang yang tidak beriman dan meninggal dalam keadaan demikian. Ayat-ayat tersebut di atas menggariskan aturan yang jelas bagi umat Islam dalam mendoakan mereka yang meninggal di luar keimanan Islam, sekaligus mengingatkan bahwa meskipun cinta begitu luas, ada keterbatasan yang harus dihormati dalam doa.

Kasih yang tulus dan cinta yang mendalam tak pernah mengingkari nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan dalam perbedaan keyakinan, umat Islam dapat menunjukkan cinta melalui cara yang tidak melanggar syariat. Imam An-Nawawi menyatakan bahwa Islam mempersilakan kita untuk mendoakan kebaikan bagi non-Muslim yang masih hidup, seperti doa agar mereka mendapatkan hidayah atau diberi kedamaian dalam hidup mereka. Ini adalah bentuk kasih sayang yang mengakar dari hati seorang Muslim, tetap menjaga rasa cinta namun menghormati prinsip keimanan.

Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, menegaskan bahwa larangan mendoakan ampunan bagi mereka yang meninggal dalam ketidakimanan tidak berarti menafikan kebaikan kepada mereka. Justru, di sini terletak keindahan Islam, yang mengajarkan umatnya untuk tetap berbuat baik, menghormati mereka, dan menunjukkan rasa empati selama hidup

Yusuf al-Qaradawi menekankan pentingnya menampilkan akhlak yang baik dalam pergaulan antaragama. Beliau menjelaskan bahwa saat seorang non-Muslim meninggal, umat Islam diperbolehkan untuk menyampaikan belasungkawa, memberikan doa ketabahan dan kekuatan bagi keluarga yang ditinggalkan, serta menunjukkan empati yang tulus. Dalam situasi tersebut, beliau mengingatkan bahwa ucapan seperti “Semoga Tuhan memberikan ketabahan dan kekuatan” adalah contoh doa yang sejalan dengan prinsip Islam.

Contoh Ucapan Belasungkawa yang Penuh Kasih namun Berbatas

Mengucapkan belasungkawa pada saat-saat duka dengan tetap berada dalam koridor syariat adalah sebuah cermin dari hati yang penuh cinta dan kebijaksanaan. Berikut ini beberapa contoh ucapan yang tetap menjaga prinsip Islam: [1]Turut berduka cita atas kepergian beliau. Semoga Tuhan memberi keluarga kekuatan untuk melalui masa sulit ini. 
[2] saya turut berbela sungkawa. Semoga Anda dan keluarga diberikan ketenangan dalam menghadapi cobaan ini.

Ucapan-ucapan tersebut adalah bentuk ungkapan kasih sayang yang penuh kebijaksanaan, yang tidak menyalahi batasan-batasan syariat. Ia membiarkan cinta mengalir, namun tetap berpegang pada kehendak Ilahi yang menjadi penuntun langkah kita.


Perspektif Sosiologis tentang Cinta dan Belasungkawa bagi Non-Muslim

Émile Durkheim, sosiolog Prancis, memahami betapa pentingnya solidaritas sosial untuk menenun harmoni dalam masyarakat. Baginya, agama adalah benang yang merajut ikatan kolektif antarindividu, mempertemukan hati yang berbeda dalam satu jalinan kebersamaan. Maka, saat seorang Muslim menyampaikan belasungkawa kepada saudara non-Muslim, di sanalah solidaritas sosial mengalir. Tindakan itu menunjukkan bahwa tali kasih tak perlu terputus meski keyakinan tak sama. Bagi Durkheim, solidaritas inilah yang menyuburkan persaudaraan lintas agama dalam sebuah taman sosial yang plural.

Max Weber, sosiolog Jerman yang dikenal akan kajian mendalamnya tentang agama, memandang agama sebagai ladang nilai yang membentuk perilaku sosial. Weber menilai agama sebagai fondasi bagi setiap tindakan individu. Dalam kasih sayang dan belasungkawa kepada non-Muslim, dapat dipahami sebagai wujud dari "etika tanggung jawab." Menafsir Weber, ketika seorang Muslim mengungkapkan rasa belasungkawa dalam batasan syariat, ia sedang menyeimbangkan antara kewajiban religius dan tanggung jawab moral kepada masyarakat. Di sinilah keindahan terwujud, di antara aturan agama dan rasa kemanusiaan yang luas.

Sosiolog Peter L. Berger, melihat agama sebagai "kanopi suci" (sacred canopy) yang melindungi masyarakat dengan lapisan-lapisan nilai dan norma. Dalam kasih sayang yang diekspresikan umat Muslim kepada non-Muslim, dapat dilihat sebagai bentuk dari "dunia kehidupan" (lifeworld) yang memperkaya batin dan kehidupan sehari-hari. Dalam konteks Berger, bahwa melalui tindakan belasungkawa ini, agama menciptakan ruang harmoni antaragama dalam keberagaman yang indah. Setiap doa dan harapan ketabahan yang diucapkan mencerminkan kebesaran nilai agama yang melahirkan kasih sayang tanpa batas.

Sementara Talcott Parsons, dengan konsep sistem sosialnya, menempatkan tindakan individu dalam rangkaian peran dan norma. Dalam konteks Parsons, ketika seorang Muslim menyampaikan belasungkawa dalam koridor syariat, itu menunjukkan peran agama dalam membentuk norma yang mendukung harmoni. Belasungkawa tersebut bukan sekadar formalitas, melainkan penunjuk jalan yang melahirkan integrasi sosial. Norma agama, dalam pandangan Parsons, bukanlah penghalang bagi hubungan yang positif, melainkan penuntun yang membawa umat Islam kepada sebuah ruang sosial di mana kasih sayang bisa mengalir tanpa henti di tengah keragaman.

Dan akhirnya, Clifford Geertz, sang antropolog yang melihat makna dalam setiap simbol agama, memandang bahwa agama adalah lentera kehidupan yang memandu interaksi sosial. Dalam konteks Geertz, batasan agama dalam mengungkapkan cinta dan belasungkawa kepada non-Muslim adalah cerminan kearifan lokal yang seimbang antara nilai agama dan budaya. 

Melalui ungkapan kasih sayang yang dilandasi oleh nilai-nilai religius, seorang Muslim bisa tetap mempertahankan identitas religius sembari membangun jembatan cinta dengan saudara non-Muslim. Setiap kata dan doa menjadi simbol kedalaman makna yang mempertemukan manusia dalam rasa yang sama—bahwa kasih dan sayang tak mengenal batas agama atau budaya.

Analisis sosiologis tersebut menunjukkan bahwa agama, dalam keberagaman maknanya, tak hanya mencipta batas, tetapi juga ruang yang luas untuk rasa cinta. Setiap ucapan belasungkawa yang diucapkan dalam batas syariat bukanlah penghalang, melainkan wujud cinta yang mengikuti aturan dan tanggung jawab yang lebih besar, menyuburkan harmoni dalam masyarakat yang plural.

Islam, dengan segala kelembutan dan kasihnya, memberikan jalan bagi umatnya untuk menunjukkan rasa cinta dan empati, bahkan kepada mereka yang berbeda keyakinan. Namun, dalam bingkai cinta yang terbatas, Allah SWT menetapkan garis yang harus dihormati—batas yang menjadi tanda ketundukan kita pada kehendak-Nya.

Kasih sayang yang disampaikan tanpa melanggar syariat bukanlah sekadar formalitas; ia adalah cerminan cinta yang disalurkan melalui doa-doa yang terarah, dalam batasan yang membawa kedamaian bagi setiap hati. Semoga setiap hati dapat memahami bahwa cinta, dalam Islam, tidak pernah terbatas pada yang tampak. Bahwa cinta yang tampak adalah sebab cinta yang tak tampak, yaitu cinta pada sang maha cinta, yaitu Allah Swt. Suatu jalan menuju Allah, yang memberikan kita ruang untuk peduli, namun mengingatkan kita pada batasan yang harus kita hormati.

Kepada basudara non-muslim yang membaca tulisan ini, peluk kasih dari kami😍
***
Fitu,14/10/2024. 22.30
Rahmat Abd Fatah

KAMPANYE DEMAGOG DAN NEGARAWAN


Rahmat Abd Fatah 
[Dosen Sosiologi Politik Universitas Muhammadiyah Maluku Utara]

"kampanye" awalnya berasal dari bahasa Latin "campania," yang berarti lapangan terbuka. Dalam konteks militer, istilah ini berkembang menjadi "campaign" dalam bahasa Inggris, yang berarti operasi militer di wilayah terbuka. Seiring waktu, maknanya meluas menjadi tindakan terorganisir untuk mencapai tujuan tertentu, termasuk dalam politik dan pemasaran.

PUISI UNTUK KAILA

Kaila Ismit(4Thn), merupakan satu-satunya korban tenggelamnya Kapal Cahaya Arafah di perairan Tokaka yang belum ditemukan

KAILA SAYANG
Oleh Rahmat Abd Fatah
Fitu,25 Juli 2022; 23.16

SALAM AWAS 2024

Rahmat Abd Fatah (Pengajar Sosiologi Politik Universitas Muhammadiyah Maluku Utara)

Sumber Tulisan: MalutPost, Kamis 6/6/2022


            Salam awas adalah simbol yang digunakan oleh keluarga besar Bawaslu Republik Indonesia. Dan simbol adalah nilai yang melekat pada yang menggunakannya,