![]() |
Sumber:https://www.istockphoto.com/id/foto-foto/romeo-montague-ilustrasi |
Di negeri yang gemerlap oleh laut biru dan pegunungan hijau, sebuah tragedi menggema, membawa duka ke setiap sudut dan hati di Maluku Utara. Beni Laos, seorang sosok penuh harapan dan visi, harus berpulang dengan cara yang tragis. Istrinya yang selamat namun terluka, menjadi simbol hidup yang penuh duka dan cinta, ia merajut kenangan cinta yang kini berbalut duka di mata publik. Namun, dalam duka yang menyelubungi ini, tiba-tiba politik berbisik, bermain di sudut hati yang sedang terluka, dan romantisme bersama duka menjadi komoditas yang menggiurkan?
Bagi sebagian orang, cinta adalah janji setia, namun bagi yang lain, cinta bisa menjadi cerita untuk menarik dukungan. Bagaimana kisah cinta yang mendalam, yang seharusnya menjadi hal yang sangat personal, kini disulap menjadi senjata yang memikat? Di balik layar, partai pendukung dan pengusung melihat duka dan romansa ini sebagai peluang; sebuah narasi yang mampu mengguncang hati setiap orang. Menampilkan kisah cinta yang tak lengkap ini, sang istri yang ditinggal sebagai penerus cita-cita, menjadikan publik terikat pada alur cerita yang menyentuh sanubari.
Di tangan para penggiat politik, tragedi menjadi selembar kanvas yang mereka lukis dengan warna-warna simpati dan cinta. Mereka melihat bahwa publik tergerak bukan hanya oleh fakta dan program, tetapi oleh getaran emosi yang mengalir dari kisah cinta yang terputus, dari kehilangan yang tak terduga. Mereka tahu, romansa yang kini terbalut duka adalah bahan bakar yang mampu memantik semangat dukungan.
Dalam suasana pilu itu, tak sulit bagi masyarakat untuk melihat sosok sang istri sebagai pewaris cinta dan perjuangan. Ketika mereka mengenang cerita kasih, simpati berubah menjadi suara, dan harapan pada masa depan sang istri menjadi harapan kolektif untuk masa depan daerah ini. Publik seolah diajak berjalan dalam lorong-lorong ingatan, merasakan cinta yang tiba-tiba diputus takdir. Mereka tergerak oleh keinginan untuk memberi restu, untuk membiarkan cinta itu hidup dalam rupa perjuangan, kini bukan lagi oleh sang suami, tetapi oleh sang istri.
Politik dengan lembut menggiring perasaan ini, menjadikan romantisme dan duka sebagai kekuatan yang tak bisa dipandang sebelah mata. Dalam sekejap, pilkada bukan lagi sekadar soal memilih pemimpin; ia berubah menjadi ritus penghormatan, penghormatan pada kisah cinta yang tersisa, pada harapan yang tak ingin masyarakat biarkan pergi. Rasa kehilangan menjadi api yang menghangatkan simpati. Tanpa disadari, tragedi ini bukan lagi sekadar tragedi; ia berubah menjadi komoditas yang dijual dalam bursa politik.
Bagi para pendukung, menghadirkan istri sang calon sebagai calon baru tak hanya sekadar strategi, tapi sebuah simbol harapan yang masih hidup. Mereka tahu, kisah cinta yang belum selesai ini berbisik dalam hati publik, mengingatkan bahwa ada janji-janji yang belum terpenuhi, ada impian yang harus terus hidup. Dan dalam bahasa cinta yang mendalam, mereka berbicara kepada masyarakat, seolah berkata: "Biarlah duka ini menjadi jembatan menuju masa depan."
Pada akhirnya, kita menyaksikan bahwa politik memang memiliki cara untuk merayu, untuk menggiring hati melalui jalan yang penuh emosi. Di tangan politik, romantisme tak lagi milik para penyair saja; ia berubah menjadi komoditas yang bisa membangun dukungan. Tragedi yang merobek jiwa itu dijadikan peluang, karena di dunia ini, politik tahu bagaimana mengambil keuntungan dari apa yang membuat manusia menangis, dari apa yang membuat mereka mencinta.
Dan begitulah, dalam sebuah peta politik yang penuh siasat, romantisme dan duka berkelindan, menjadi alat untuk memikat, untuk menarik simpati, dan pada akhirnya, untuk mengajak masyarakat memilih bukan hanya dengan pikiran, tetapi dengan hati yang sedang tersentuh. Politik telah mencipta sebuah komoditas baru, berlabel romansa dan duka, yang dijual dengan harga setinggi langit.
Di Maluku Utara, duka menjadi nyanyian yang mengalun dalam nada politik. Dan kita semua, yang menyaksikan, hanya bisa bertanya-tanya dalam hati: apakah cinta dan duka ini, yang seharusnya menjadi suci dan pribadi, telah menjadi harga yang pantas dibayar dalam panggung politik?
Mengolah Duka Menjadi strategi politik?
Tragedi ini melahirkan simpati dan solidaritas yang mengalir dari masyarakat, memperkuat simpul ikatan emosional. Di satu sisi, publik terbawa oleh romansa dan kasih sayang yang telah bersemayam dalam hubungan mereka; di sisi lain, duka yang mengiris hati mendorong masyarakat untuk menunjukkan rasa kepedulian mereka. Momentum ini, yang dihiasi warna cinta dan kehilangan, menjadi strategi politik psikologis yang kuat. Seperti yang dikemukakan oleh Benhabib (1992), politik seringkali berada di persimpangan antara nalar dan emosi, antara logika dan perasaan.
Ketika rasa kehilangan menyelubungi, partai politik tak hanya melihat duka, tetapi juga peluang. Dalam dinamika politik, memanfaatkan simpati dan emosi publik adalah cara yang sering digunakan untuk meraih simpati dan dukungan. Di tengah guncangan tragedi, partai pendukung sang calon gubernur pun mengajukan sang istri, sosok yang turut merasakan luka, sebagai pengganti. Tindakan ini membangkitkan gelombang emosional yang menghubungkan masyarakat dengan perjuangan keluarga yang berduka, menghadirkan efek psikologis yang menyentuh. Saat emosi publik dimainkan, keterpilihan pun meningkat (Bartels, 2008).
Kisah cinta dan kehilangan menjelma menjadi komoditas yang membangun koneksi dengan konstituen. Meminjam istilah Gramsci (1971), hegemoni budaya dibangun melalui perasaan kebersamaan dan keterikatan. Publik yang sebelumnya mungkin netral, kini bersimpati. Mereka melihat sosok istri almarhum sebagai simbol keberlanjutan cinta dan dedikasi bagi daerah yang mereka cintai. Secara psikologis, emosi ini membangun rasa tanggung jawab dan keterikatan pada publik untuk mendukung sang istri, memperkuat posisi partai yang mengusungnya.
Masyarakat dibawa pada narasi cinta yang berbalut tragedi, sehingga mereka merasa memiliki bagian dalam kisah tersebut. Strategi ini tak sekadar mendekatkan, tetapi menumbuhkan loyalitas emosional yang kuat. Di penghujung hari, pertanyaan yang muncul adalah: sejauh mana politik dapat merangkai kisah dan perasaan untuk meraih tujuan? Mengutip McCombs dan Shaw (1972), agenda politik seringkali mengolah isu-isu yang relevan di hadapan publik, menempatkan perasaan di ujung tombak kampanye. Itulah Romantisme dan Duka Sebagai Komoditas Politik
***
Rahmat Abd Fatah
[Pegiat Sosiologi Sastra dan Sosiologi Politik].
Tragedi ini melahirkan simpati dan solidaritas yang mengalir dari masyarakat, memperkuat simpul ikatan emosional. Di satu sisi, publik terbawa oleh romansa dan kasih sayang yang telah bersemayam dalam hubungan mereka; di sisi lain, duka yang mengiris hati mendorong masyarakat untuk menunjukkan rasa kepedulian mereka. Momentum ini, yang dihiasi warna cinta dan kehilangan, menjadi strategi politik psikologis yang kuat. Seperti yang dikemukakan oleh Benhabib (1992), politik seringkali berada di persimpangan antara nalar dan emosi, antara logika dan perasaan.
Ketika rasa kehilangan menyelubungi, partai politik tak hanya melihat duka, tetapi juga peluang. Dalam dinamika politik, memanfaatkan simpati dan emosi publik adalah cara yang sering digunakan untuk meraih simpati dan dukungan. Di tengah guncangan tragedi, partai pendukung sang calon gubernur pun mengajukan sang istri, sosok yang turut merasakan luka, sebagai pengganti. Tindakan ini membangkitkan gelombang emosional yang menghubungkan masyarakat dengan perjuangan keluarga yang berduka, menghadirkan efek psikologis yang menyentuh. Saat emosi publik dimainkan, keterpilihan pun meningkat (Bartels, 2008).
Kisah cinta dan kehilangan menjelma menjadi komoditas yang membangun koneksi dengan konstituen. Meminjam istilah Gramsci (1971), hegemoni budaya dibangun melalui perasaan kebersamaan dan keterikatan. Publik yang sebelumnya mungkin netral, kini bersimpati. Mereka melihat sosok istri almarhum sebagai simbol keberlanjutan cinta dan dedikasi bagi daerah yang mereka cintai. Secara psikologis, emosi ini membangun rasa tanggung jawab dan keterikatan pada publik untuk mendukung sang istri, memperkuat posisi partai yang mengusungnya.
Masyarakat dibawa pada narasi cinta yang berbalut tragedi, sehingga mereka merasa memiliki bagian dalam kisah tersebut. Strategi ini tak sekadar mendekatkan, tetapi menumbuhkan loyalitas emosional yang kuat. Di penghujung hari, pertanyaan yang muncul adalah: sejauh mana politik dapat merangkai kisah dan perasaan untuk meraih tujuan? Mengutip McCombs dan Shaw (1972), agenda politik seringkali mengolah isu-isu yang relevan di hadapan publik, menempatkan perasaan di ujung tombak kampanye. Itulah Romantisme dan Duka Sebagai Komoditas Politik
***
Rahmat Abd Fatah
[Pegiat Sosiologi Sastra dan Sosiologi Politik].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar