Pemimpin Non-Muslim di Negara Mayoritas Muslim. Apakah boleh?

Dalam ajaran Islam, persoalan tentang kepemimpinan non-Muslim di negara mayoritas Muslim telah menjadi subjek diskusi yang cukup mendalam di antara para ulama dan pemikir Islam.

Sebagian besar ulama klasik berpendapat bahwa pemimpin di negara mayoritas Muslim seharusnya beragama Islam. Namun, dalam konteks masyarakat modern yang plural,

Sejumlah ulama dan intelektual Islam kontemporer berpendapat bahwa seorang non-Muslim dapat menjadi pemimpin selama ia dapat memerintah dengan adil, menjaga moralitas, dan memenuhi hak-hak rakyat.

Pandangan ini menunjukkan interpretasi ajaran Islam yang lebih kontekstual dan adaptif, terutama dalam masyarakat pluralis saat ini.

Ibnu Taimiyah, seorang ulama terkemuka, dalam karyanya Siyasah Syar'iyyah menekankan bahwa tujuan utama kepemimpinan adalah memastikan keadilan dan kebaikan bagi masyarakat. Menurutnya, jika seorang pemimpin non-Muslim bisa memerintah dengan adil dan memberikan kebaikan, maka kepemimpinannya dapat diterima. Ia menegaskan bahwa keadilan adalah syarat utama dalam kepemimpinan.

Ulama kontemporer Yusuf Al-Qaradawi dalam bukunya Fiqh of Muslim Minorities menyatakan bahwa dalam situasi tertentu, seorang Muslim dapat memilih pemimpin non-Muslim jika pemimpin tersebut lebih adil dan mampu melindungi hak-hak umat Muslim. Al-Qaradawi menekankan pentingnya memperhatikan kinerja dan moralitas pemimpin di dalam negara plural dan demokratis, lebih dari sekadar agamanya.

Buya Syafi'i Ma'arif, seorang intelektual Muslim dari Indonesia, dalam bukunya Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2015) menyatakan bahwa umat Islam harus bersikap terbuka terhadap pemimpin non-Muslim, asalkan pemimpin tersebut mampu membawa kebaikan bagi masyarakat secara luas. Baginya, moralitas dan keadilan adalah syarat utama dalam kepemimpinan, bukan agamanya.

Muhammad Abduh, seorang reformis Islam dari Mesir, berpendapat bahwa Islam tidak melarang umatnya hidup di bawah kepemimpinan non-Muslim selama pemimpin tersebut memberikan kebebasan beragama dan menegakkan keadilan. Abduh lebih fokus pada prinsip keadilan dan kesejahteraan masyarakat daripada identitas agama seorang pemimpin (Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1983).

Dalam konteks Indonesia yang multikultural, Gus Dur menekankan bahwa konstitusi lebih penting daripada eksklusivitas agama dalam memilih pemimpin. Menurutnya, UUD 1945 tidak melarang seorang non-Muslim memimpin di wilayah mayoritas Muslim selama ia menerapkan prinsip keadilan, kesejahteraan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Gus Dur juga menegaskan pentingnya semangat Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan kebijakan dan kepemimpinan di Indonesia (Hosen, 2007).

Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur berulang kali menyatakan bahwa pemilihan pemimpin harus didasarkan pada kompetensi dan integritas moral, bukan semata-mata identitas agamanya. Pandangan ini kerap menuai kritik dari kelompok konservatif, tetapi Gus Dur tetap konsisten dengan keyakinannya akan pentingnya pluralisme dan kesetaraan dalam politik (Barton, 2002).
***
Rahmat Abd Fatah

Tidak ada komentar: