Sumber Foto: https://jateng.idntimes.com/news/indonesia/bandot-arywono/putus-asa-perawat-penderita-virus-corona-menggila-aku-tak-tahan-lagi |
Oleh Rahmat Abd Fatah
Pembelajar sosiologi di UMMU
rahmatabdfatah@gmail.com
Pembelajar sosiologi di UMMU
rahmatabdfatah@gmail.com
Dalam tragedi yang paling klasik, di gunung Qasiyun yang menjulang tinggi di wilayah damaskus, tragedi kemanusiaan bermula akibat nafsu angkara murka membuat Qabil tega menghabisi nyawa adik kembarnya sendiri Habil. Sejarah manusia kemudian bermula dengan goresan darah, kekerasan, tangisan, duka sekaligus menyayangi sesama. “maka hawa nafsu menjadikannya mengganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah seorang diantara orang-orang yang merugi...dan karena itu jadilah ia diantara orang-orang yang menyesal” (Qs.Almaidah: 30-31). Menangislah Qabil dalam penyesalan yang mengesakkan dada. Tetapi semua suda terlambat. Begitulah manusia setelahnya, memiliki sifat memangsa selain menyayangi sesama.
Al-Qur’an menyebut tangisan diantaranya dengan kerinduan, penyesalan, takut dan air mata dusta. Pertama, “dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata...” (Qs. Al-Maidah:83) karena merindukan kebenaran (Al-qur’an) dan Muhammad Rasulullah SAW Nabi kemanusiaan (Rahmatan Lilalamin), keluarga dan para sahabatnya. Kedua, “sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infakan” (Qs.at-Taubah:92). Ketiga, “apabila dibacakan Ayat-ayat Allah yang maha pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis” (Qs. Maryam:58) dan keempat, adalah air mata dusta. Hal ini diceritakan ketika saudara-saudara Nabi yusuf pura-pura menangis dan mengarang cerita bahwa Nabi Yusuf telah dimakan serigala “kemudian mereka datang kepada Ayah mereka di sore hari sambil menangis” (Qs. Yusuf:16).
Tangisan dan penyesalan ialah keadaan kognitif dan emosional yang menyakitkan karena keterbatasan, kehilangan, kelemahan atau kesalahan dalam suatu waktu yang telah berlalu. Al-Qur’an menyebut “ dia mengatakan alangkah baiknya aku dahulu mengerjakan (amal Shaleh) untuk hidupku ini (Qs. Al-Fajr:24). “kecelakaan besarlah bagiku; andaikan aku (dahulu) tidak menjadikan si dia teman akrabku (Qs. Al-Furqan:28) dan “sesungguhnya dia telah menyesatkanku dari Al-Qur’an ketika Al-qur’an telah datang padaku. Setan itu tidak mau menolong manusia (Qs.Al- Furqan:29).
Tangisan penyesalan ialah suatu sifat yang ada pada manusia yang disediakan Tuhan di masa depan atau pada akhir bukan pada awal. Karena itu tangisan penyesalan bisa berubah menjadi tangisan haru bahagia juga bisa berubah menjadi duka lara jika tidak menyikapinya dengan baik. Nah, tidak lamah lagi “torang samua” memasuki bulan suci ramadhan. Apakah “torang” memasuki dengan haru bahagia atau justeru sebaliknya dengan air mata penyesalan. Ramadhan 2020 juga apakah di kenang sebagai ramadhan yang paling bersejarah karena terbebas dari virus ataukah sebaliknya menjadi ramadhan tragedi kemanusiaan akibat banyaknya jumlah manusia yang terpapar oleh virus corona akibat kelalaian kita semua.
Kemarin sore, [8/4]. Karena harus beli remote Tv, saya harus pergi ke toko beta. Depan masjid Al-Muttaqien Jl. MT. Habib Abubakar Alatas Ternate Tengah. Disepanjang jalan dari Fitu, Ternate selatan. Tiba-tiba air mata saya keluar. Menulislah saya dilaman facebook “kemarin, saya ka atas beli remot di toko beta. Ya, Saya heran-heran sepanjang jalan pe rame, baru pe banya tara pake masker deng dong polu-polu (bakumpul) kayak ikan sembilan. Saya pe aer mata tiba-tiba kaluar. Sepanjang jalan saya bafikir kalau di Ternate ini ada yang positif dan belum diperiksa atau ada yang baru datang kong kase tajangke. Tong akang berduka di bulan puasa. Me belum puasa saja, so rame model ini”.
Keadaan tersebut di atas mengkonfirmasi pada kita bahwa sepanjang petugas “bataria” tetap di dalam rumah sepanjang itupula dilanggar atau tidak dipatuhi. Ada apa sebenarnya, apakah memang virus dianggapnya tidak berbahaya, atau Allah masih menyayanginya tidak mungkin terpapar, pikirnya daya tahan tubuhnya masih kuat sehingga tidak pake masker atau memang tidak ada masker, atau memang dasarnya tidak peduli, “pahe” dan pasrah dengan keadaan. Ataukah masyarakat mulai kehilangan kepercayaanya kepada pemerintah dalam menykapi pandemi corona.”percuma saja kita disuru diam di rumah tapi bandara sama pelabuhan masih dibuka, WNA juga masih keluar masuk” ungkap salah satu teman facebook yang membalas status facebook saya [31/3].
Tetapi masalahnya, virus corona menular. Jika anda kena, maka “tajangke” atau kena juga pada yang lain, karena itu kewaspadaan pada virus corona bukan hanya untuk diri sendiri tetapi untuk manusia yang lain. Itu sebabnya muncul himbauan dari para medis “anda tetap di rumah biar kami saja”. Kata sederhan, tetapi syarat makna karena mereka berani mengorbankan jiwanya untuk keselamatan semua manusia.
Logikanya, bahwa “torang” samua tahu hostnya Virus corona adalah tubuh manusia. Dan dia “tajangke” atau berpindah dari tubuh satu ke tubah yang lain begitu cepat, Setelah seorang batuk di dekat anda atau menyentuh permukaan yang terkontaminasi lalu setelahnya mengusap wajah. “Virus ini menginveksi sel-sel yang melapisi tenggorokan, saluran udara, dan paru-paru, lalu mengubahnya menjadi “pabrik corona” yang memuntahkan sejumlah virus baru dan terus menginveksi lebih banyak sel dalam tubuh” (Vivanwes.com/19/3).
Kita juga tidak pernah tahu dan barangkali “tidak mau tahu” bahwa kasus dari wabah ini bukan saja soal statistik tentang data penyebaran dan korban Covid19. Tetapi di dalamnya ada kepiluan, kelelahan, duka, tangisan dari manusia-manusia hebat yang mewakafkan dirinya untuk kemanusiaan seperti dokter, tenaga medis dan pekerja kemanusiaan yang bahkan abai pada diri dan keluargnya demi ingin menyelamatkan banyak nyawa. Kisah dokter yang meninggal dunia dalam melawan covid19, pekerja medis yang tidak diperkenankan lagi tinggal di kos-kosannya, bagaimana menyayatnya hati keluarga atas penolokan masyarakat terhadap mayat yang hendak dikuburkan dan masih banyak lagi kisah pilu dari tragedi kemanusiaan ini. Bukankah ini suda cukup untuk menyadarkan kita bahwa virus corona bukan mainan.
Kita seringkali tidak pernah jujur, juga barangkali tidak sadar bahwa tragedi kemanusiaan yang seringkali mewarnai kehidupan juga akibat dari ketidak patuhan dan menganggap remeh keadaan di sekitar kita dengan kuatnya ego yang dimiliki. Lihatlah bagaimana kuatnya implikasi dari sikap apatis terhadap kondisi di sekitar kita akbibat wabah yang begitu cepat. Korban terus berjatuhan dan Maluku Utara kembali bertambah satu pasien positif virus corona, setelah sebelumnya satu positif yang telah dinyatakan sembuh.
“Torang tara tau” juga apakah di Ternate ini ada yang positif atau tidak selain yang sudah diketahui statusnya. Apalagi bandara dan pelabuhan yang masih terbuka lebar. Artinya ada peluang atau potensi virus menyebar diantara “torang” samua. Jika hal ini tidak di antisipasi dengan baik, maka bulan ramadhan di Kota Ternate dengan budaya kiliner yang ramai di sore hari bisa berubah menjadi tragedi yang paling piluh dalam sejarah pelaksanaan puasa bulan Ramadhan.
Sebagaiman di awal tulisan ini, marilah bersama mengantisipasi pandemik corona dengan tangisan positif yang bisa menyelamatkan kemanusiaan kita (berpikir, merasa, ber-Tuhan) dan kemanusiaan (fisik/jasad) kita dari amukan pandemi virus corona. Pertama, bahwa seruan tetap tinggal di rumah bermakna kita kembali pada asal, yaitu pada diri sendiri dengan suara hati yang jernih dalam rangka melakukan lebih banyak “tabungaun rindu” untuk berjumpa dengan Nabi Allah Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya. “dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata...” (Qs. Al-Maidah:83)
Kedua, lakukanlah apa yang kita bisa dan punya sebagai bentuk infak pada kemanusiaan. Minimal tetap berdiam diri di rumah jika belum punya yang bisa dibagikan pada yang lain( yang terkena dampak virus corona). “sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infakan” (Qs.at-Taubah:92).
Ketiga, bahwa tragedi kemanusiaan dimanapun, bisa dibaca sebagai ujian dan cobaan yang Allah berikan sebagai ukuran kepatuhan manusia kepadaNYA.“apabila dibacakan Ayat-ayat Allah yang maha pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis” (Qs. Maryam:58)
Dan keempat, Bahwa virus corona telah nampak begitu nyata memakan korban dan disemua negara-negara menyerukan tetap tinggal dan bekerja dari rumah. Apakah di Ternate kita perlu diberikan lebih banyak bukti. Jika demikian adanya, maka bulan Ramadhan yang suda di depan mata akan kita alasi dengan air mata dusta. Karena "torang so tau berbahaya tetapi pura-pura taratau dan tara mau tau". “kemudian mereka datang kepada Ayah mereka di sore hari sambil menangis” (Qs. Yusuf:16). Mari berbenah teman’s.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar