Rahmat Abd Fatah
Dalam konteks politik, kampanye untuk mempengaruhi para pemilih tidak selalu dilakukan dengan cara yang rasional, dapat di ukur dan bisa dipertanggung jawabkan, tetapi yang sering mengemuka adalah gimik dan retoris tanpa makna. Mulai dari “menjual hasrat” dimana biduan di undang dan berjoget di depan para anak-anak sampai orang tua, semua larut dan menganggapnya sebagai momentum “pesta rakyat”. Padahal adalah awal bagi momentum “eksploitasi” suara rakyat jika motif dan pengetahuan elit tidak tertuntun oleh keadaban dan kearifan membangun negerinya.
Kampanye politik
kemudian dapat dilihat sebagai arena di mana dua gaya kepemimpinan yang berbeda
mengemuka dalam perhelatan politik, yaitu demagogi dan negarawan. Demagogi
secara istilah berasal dari bahasa Yunani "demos," yang berarti
rakyat, dan "agogos," yang berarti pemimpin. namun istilah ini
digunakan untuk menggambarkan pemimpin yang memanipulasi emosi rakyat demi
keuntungan politik mereka sendiri. (Lowi, 2004) dalam The end of liberalism: The second republic of the United States
menyatakan "Demagog adalah seorang pemimpin yang mendapatkan kekuasaan
melalui eksploitasi ketakutan, ketidakpuasan, dan prasangka massa, dimana
sering mengorbankan nilai-nilai etika dan moral."
Sementara Negarawan
berfokus pada prinsip-prinsip integritas, kebijaksanaan, dan tanggung jawab
jangka panjang. Keduanya memiliki dampak yang sangat berbeda terhadap
stabilitas dan masa depan demokrasi. Kampanye demagogis, meskipun sering kali
efektif dalam meraih dukungan jangka pendek, tetapi cenderung merusak kohesi
sosial dan mempolarisasi masyarakat. Di sisi lain, kampanye yang dijalankan dengan
model negarawan memiliki potensi untuk memperkuat demokrasi, mempromosikan
dialog dan menghasilkan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat dalam jangka
panjang.
Sebagai contoh kampanye
demogog oleh Norris dan Inglehart (2019) dalam Cultural backlash: Trump, Brexit, and authoritarian populism bahwa
presiden Donald Trump di Amerika Serikat pada tahun 2016 adalah contoh nyata
penggunaan taktik demagogis, seperti retorika anti-imigran, penolakan terhadap
media arus utama, dan janji-janji populis yang tidak realistis. Meskipun
kampanye tersebut berhasil meraih dukungan yang besar, dampaknya adalah
peningkatan polarisasi sosial dan politik di Amerika Serikat.
Di sisi lain, kita bisa
melihat contoh kampanye Nelson Mandela dalam pemilihan umum Afrika Selatan pada
tahun 1994 sebagai bentuk kampanye negarawan. Mandela, meskipun menghadapi
tekanan politik dan sosial yang luar biasa, tetap berkomitmen pada
prinsip-prinsip rekonsiliasi dan persatuan nasional. Kampanyenya fokus pada
membangun kembali Afrika Selatan sebagai negara yang inklusif dan adil bagi
semua warga, tanpa memanfaatkan sentimen etnis atau rasial. Menurut (Lodge, 2006)
dalam bukunya Mandela: A Critical Life.
Dengan tegas menyatakan Mandela adalah contoh klasik dari seorang negarawan
yang mengutamakan kepentingan jangka panjang negara daripada ambisi pribadi
atau partai politik.
Contoh lain dari kampanye
demagog dan “mungkin” negarawan dalam konteks Maluku Utara, bisa dilihat pada
Pilkada 2020 di Kota Ternate, yang di riset oleh (R.Fatah, 2023) dalam
disertasinya, ;
Pertama. Kampanye dengan menggunakan terminology lokal ‘Baku Si Loa-Loa”. Wadah atau tempat dialog berbagai kelompok etnis dan agama untuk berpartisipasi dalam mengembangkan kota ini,” (Tauhid Soleman, Calon Wali Kota Ternate). Tauhid Soleman (Wali Kota Terpilih) menggunakan analog Baku Si Loa-Loa sebagai simbol wadah dialog bagi berbagai kelompok etnis dan agama di Ternate. Tujuannya adalah menciptakan ruang inklusif untuk semua kelompok berpartisipasi dalam pembangunan kota.
Dalam konteks masyarakat yang beragam, pesan ini penting sebagai model
negarawan karena menekankan harmoni dan kesatuan dalam perbedaan. Tetapi
kemudian bisa berubah menjadi demogog, ketika wadah dialog ini hanya menjadi
retorika kampanye. Bahwa retorika inklusif dalam kampanye sering kali tidak
diterjemahkan dalam tindakan nyata setelah kandidat terpilih. Isu-isu
multikulturalisme cenderung dipinggirkan ketika kepentingan politik mayoritas
lebih mendominasi. Lalu bagaiman analog tersebut diimplementasikan selama
kepemimpinan Tauhid Suleman, apakah hanya sebagai demagog atau negarawan.
Kedua, Analog adat se Atorang "Saya juga berkeinginan untuk adat seatorang harus dipertahankan. Agar masyarakat dari luar ternate juga mampu menghargai adat seatorang," (Tauhid Soleman). Bahwa analog Adat Se Atorang sebagai bentuk penghargaan terhadap identitas adat dan kearifan lokal. Pernyataan ini memperlihatkan bagaimana adat Ternate dijadikan landasan untuk memperkuat pembangunan kota. Penghargaan terhadap adat dan kearifan lokal dalam politik dapat mengokohkan identitas budaya dan memberikan legitimasi moral bagi kandidat.
Namun, kritik terhadap analog tersebut muncul dari fakta bahwa konsep adat
sering kali dipolitisasi untuk mendukung kepentingan elit tertentu. Oleh karena
itu, penting untuk memastikan bahwa penghargaan terhadap adat tidak hanya
sebatas simbolisme, tetapi juga diimplementasikan dalam kebijakan yang inklusif
dan adil, serta di dukung oleh program dan anggaran yang memadai. Lalu sejauh
mana kepemimpin Tauhid selama satu periode meletakan Adat Se Atorang. Apakah sebagai demagog
atau negarawan.
Ketiga, Analog Gam Madihutu. "Masyarakat Kulaba harus siap memenangkan Tauhid karena beliau adalah anak asli Kota Ternate (gammadihutu), bukan orang yang tinggal di Jakarta yang pura-pura jadi orang Ternate yang bisa bahasa Ternate, dan pada musim durian saja baru datang," (Jasri. Calon Wakil Walikota Terpilih). Dalam konteks politik lokal, analog ini jelas sebagai bentuk demagog, bertujuan untuk memobilisasi dukungan berdasarkan identitas lokal.
Penggunaan bahasa tersebut jelas sebuah demagog, berpotensi
menciptakan polarisasi antara "putera daerah" dan "pendatang.
Walaupun secara electoral berdampak tetapi pendekatan eksklusivitas seperti ini
bertentangan dengan semangat kebhinnekaan dan dapat merusak kohesi sosial dalam
jangka panjang. Kandidat yang tidak berasal dari daerah lokal dianggap kurang
berhak memimpin, padahal kualitas kepemimpinan seharusnya tidak didasarkan pada
faktor geografis semata, melainkan kemampuan dan integritas.
Keempat,
"Warga Ternate secara keseluruhan
mereka punya kerinduan, mereka punya obsesi, dari semenjak dulu, sampai saat
ini, apalagi pada momentum kepala daerah. Cita-cita dan harapan mereka tidak
pernah terealisasi. Sejak 2000-an menghendaki Boki dan Sidik Siokona. Namun,
harapan itu tidak pernah terlaksana,suda saatnya Ternate di pimpin Putera Asli
Ternate”.(Jasri Usman).
Jasri Usman menggunakan analog ini untuk menekankan bahwa masyarakat Ternate memiliki obsesi dan harapan agar kota mereka dipimpin oleh "putera asli Ternate" setelah bertahun-tahun dipimpin oleh orang luar. Pernyataan ini membangun narasi bahwa giliran Ternate dipimpin oleh putera daerah yang mampu mewujudkan harapan masyarakat lokal.
Retorika semacam ini sering kali berisiko menumbuhkan sentimen
anti-pendatang atau eksklusivisme daerah. Meski identitas lokal adalah hal
penting, namun kepemimpinan yang baik seharusnya tidak hanya dilihat dari
faktor kelokalan, tetapi juga dari visi, program, serta integritas kandidat.
Terlalu berfokus pada narasi "putera daerah" bisa menutupi diskursus
tentang kualitas kepemimpinan yang lebih mendalam.
Implikasi
Kampanye Demagog
Setidaknya
terdapat lima implikasi Kampanye demagogis yaitu; Pertama, Polarisasi sosial dan politik. Bahwa para demagog sering
kali memanfaatkan isu-isu sensitif, seperti Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan
(SARA), yang telah lama menjadi masalah dalam politik lokal. Pemanfaatan isu
SARA dalam kampanye di Maluku Utara dapat memecah belah masyarakat menjadi
kelompok-kelompok yang saling bertentangan. Kandidat yang mengandalkan taktik
demagogi akan berusaha untuk menggali perbedaan identitas etnis atau agama,
alih-alih menekankan persatuan dan kebersamaan.
Dan dendangan tersebut justeru telah dimulai oleh Calon Gubernur Maluku Utara Beni Laos ketika mempertentangkan identitas di satu sisi dan kapasitas di sisi yang lain, begitupula wakilnya Sarbin Sehe yang dengan tegas menyatakan politik bukan soal akidah tetapi soal kemanusiaan. Tetapi dalam kesempatan yang lain keduanya menggunakan perspektif agama dan keyakinannya untuk membangun soliditas dan loyalitas berdasarkan identitas agama. Jelas ini sebuah demagog.
Potensi
demagogi ada pada semua calon yang sedang berkontestasi dengan mengkonstruksi
isu identitas agama dan enis, terlebih Sejarah dan Budaya oleh pasangan nomor
urut satu yang merupakan seorang Sultan. Aspinall dan Berenschot (2019) dalam Democracy for Sale: Elections, Clientelism,
and the State in Indonesia. Menyatakan penggunaan politik identitas dalam
kampanye sering kali bertujuan untuk memobilisasi dukungan dari kelompok
mayoritas dengan mengorbankan hubungan harmonis antar kelompok sosial.
Kedua, penurunan Kualitas Diskursus Politik. Kampanye demagogi cenderung merendahkan kualitas diskursus politik di Maluku Utara. Ketimbang fokus pada isu-isu substansial seperti pembangunan ekonomi, kesehatan, pendidikan, atau infrastruktur, kampanye demagogi lebih sering diarahkan untuk mengangkat isu-isu emosional dan retorika populis yang dangkal. Janji-janji yang bombastis tetapi tidak realistis sering kali disampaikan untuk menarik perhatian publik, namun minim analisis dan solusi konkret terhadap permasalahan yang dihadapi daerah.
Sebagai contoh, kandidat yang mengandalkan demagogi
mungkin akan mengeluarkan janji populis mengenai kebudayaan, adat, tradisi juga
peningkatan kesejahteraan atau penghapusan kemiskinan tanpa menyajikan rencana
kebijakan yang rinci dan berkelanjutan. Hal ini bukan hanya mengecoh pemilih,
tetapi juga mengabaikan kebutuhan untuk melakukan diskusi publik yang sehat dan
berbasis data. Penurunan kualitas diskursus ini pada akhirnya melemahkan proses
demokrasi yang seharusnya ditandai dengan perdebatan rasional dan penyelesaian
masalah.
Ketiga. Pengabaian Isu Pembangunan Jangka Panjang. Kampanye demagogis juga sering kali mengabaikan isu-isu yang memiliki dampak jangka panjang bagi pembangunan daerah, seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan tata kelola pemerintahan yang baik. Sebagai ganti, kandidat yang mengandalkan taktik demagogi lebih memilih fokus pada isu-isu yang dapat memicu respons emosional dalam jangka pendek, seperti memanipulasi sentimen etnis atau agama.
Di Maluku Utara, di mana tantangan pembangunan
seperti ketimpangan ekonomi, infrastruktur yang terbatas, dan tingkat
pendidikan yang masih rendah menjadi masalah yang besar, pengabaian terhadap
isu-isu jangka panjang ini dapat memperlambat kemajuan daerah. Sebaliknya,
pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif memerlukan perencanaan yang matang,
partisipasi masyarakat yang luas, dan pemimpin yang berkomitmen terhadap
kepentingan jangka panjang. Ketika kampanye demagogis mengalihkan perhatian
masyarakat dari isu-isu penting ini, proses pembangunan yang lebih mendalam dan
strategis menjadi terhambat.
Keempat, mengurangi Kepercayaan Publik terhadap Demokrasi. Kampanye demagogi, dengan janji-janji populis yang tidak realistis, sering kali menghasilkan kekecewaan publik ketika janji-janji tersebut gagal dipenuhi. Di Maluku Utara, seperti di banyak daerah lain, pemilih yang telah digiring oleh harapan-harapan palsu dari kampanye demagogis akan merasa dikhianati ketika mereka melihat bahwa kandidat yang mereka pilih tidak mampu merealisasikan program-program yang dijanjikan. Kegagalan ini dapat berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap proses demokrasi secara keseluruhan.
Liddle dan Mujani (2007) dalam Leadership, Party, and Religion: Explaining
Voting Behavior in Indonesia. Menyatakan bahwa penurunan kepercayaan
terhadap demokrasi sering kali terjadi ketika publik merasa bahwa sistem
politik tidak bekerja untuk kepentingan mereka. Di Maluku Utara, dampak ini
bisa lebih nyata mengingat ekspektasi tinggi dari masyarakat yang sering kali
terjebak dalam dinamika politik berbasis identitas dan janji populis.
Kelima, penguatan Politik Klientelisme dan Uang. Demagogi sering kali berjalan seiring dengan praktik politik klientelisme dan politik uang. Di Maluku Utara, kampanye berbasis uang masih menjadi fenomena umum. Kandidat yang mengandalkan demagogi sering kali memanfaatkan ketergantungan masyarakat terhadap bantuan ekonomi jangka pendek untuk memperoleh dukungan elektoral. Fenomena ini memperkuat politik patronase, di mana dukungan masyarakat diperoleh bukan berdasarkan kebijakan atau program yang ditawarkan, tetapi atas dasar transaksi ekonomi atau janji materiil.
Politik
uang dalam kampanye tidak hanya merusak integritas proses demokrasi, tetapi
juga memperkuat budaya politik transaksional yang memprioritaskan keuntungan
pribadi atau kelompok di atas kepentingan publik. Dalam jangka panjang, hal ini
akan menghambat upaya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan
transparan, serta menghalangi pembangunan demokrasi yang sehat.
Keenam, menghambat Partisipasi Politik yang Inklusif. Salah satu dampak serius dari kampanye demagogis adalah penghambatan terhadap partisipasi politik yang inklusif. Di Maluku Utara, kampanye yang menggunakan retorika eksklusivis berdasarkan identitas etnis atau agama dapat membuat kelompok-kelompok tertentu merasa teralienasi dari proses politik. Kampanye demagogis cenderung memobilisasi dukungan dari kelompok mayoritas dengan mengeksklusi kelompok minoritas atau lawan politik yang dianggap berbeda.
Menurut Aspinall (2011), kampanye berbasis identitas memiliki
potensi untuk menciptakan “politik perpecahan,” di mana masyarakat yang berbeda
identitas etnis atau agama diperlakukan sebagai pihak yang
"berlawanan." Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat
terciptanya partisipasi politik yang inklusif, di mana seharusnya semua
kelompok masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam
proses politik.
Model Kampanye Negarawan
Pertama, Berbasis Kebijakan dan Data. Bahwa kampanye negarawan berfokus pada program dan kebijakan yang dirumuskan secara komprehensif, berbasis data, dan dapat dijalankan secara realistis. Seorang negarawan tidak hanya memberikan janji-janji populis, tetapi juga menunjukkan rencana konkret tentang bagaimana masalah-masalah utama masyarakat akan diselesaikan. Misalnya, dalam konteks Maluku Utara, kampanye berbasis kebijakan dapat mencakup solusi untuk masalah infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Menurut (Khanin, D. 2007). Dalam philosophy of transforming leadership, bahwa seorang negarawan
adalah pemimpin yang memikirkan dampak jangka panjang dari setiap kebijakan
yang ditawarkan. Dalam konteks kampanye, ini berarti bahwa janji-janji politik
tidak hanya didasarkan pada keinginan untuk menang dalam pemilu, tetapi juga
mempertimbangkan bagaimana kebijakan tersebut akan memberikan manfaat jangka
panjang bagi masyarakat.
Kedua,
Mengutamakan Integritas dan Etika Seorang negarawan selalu memprioritaskan
integritas dan etika dalam setiap tindakan politiknya, termasuk dalam kampanye.
Mereka menghindari taktik-taktik manipulatif, seperti menggunakan isu-isu
identitas atau menyebarkan berita bohong, politisasi SARA dan politik uang. Dengan
menghindari eksploitasi isu-isu sensitif, kampanye dapat difokuskan pada
penyelesaian masalah nyata yang dihadapi masyarakat, tanpa menimbulkan
ketegangan atau perpecahan di antara kelompok-kelompok yang berbeda.
Ketiga, Mengedepankan Pendidikan Politik. Kampanye negarawan tidak hanya bertujuan untuk meraih suara, tetapi juga untuk mendidik masyarakat tentang isu-isu politik yang relevan. Pemilih tidak boleh dipandang sebagai massa yang hanya perlu dimobilisasi, tetapi sebagai warga negara yang perlu didorong untuk berpikir kritis dan memahami kompleksitas masalah yang dihadapi daerah mereka.
Di
Provinsi Maluku Utara, yang sebagian masyarakatnya mungkin masih minim akses
terhadap informasi politik yang mendalam, kampanye edukatif ini sangat penting.
Kandidat yang mengadopsi model kampanye negarawan dapat menggunakan platform
kampanye mereka untuk menjelaskan kebijakan secara detail, menawarkan solusi
yang realistis, dan mengajak masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan
keputusan politik yang lebih transparan.
Keempat,
Mengutamakan Keadilan Sosial dan Inklusivitas. Negarawan selalu berkomitmen
untuk menciptakan keadilan sosial dan inklusivitas dalam setiap kebijakan yang
mereka tawarkan. Kampanye negarawan berfokus pada kebutuhan semua lapisan
masyarakat, termasuk kelompok minoritas atau kelompok yang termarjinalkan. Ini
sangat penting di Maluku Utara, yang memiliki keragaman etnis dan agama yang
tinggi.
Tiga
Platform Politik
Tiga isu penting yang
mungkin bisa diperhatikan adalah pertama, Program Kampanye Berbasis Isu
Lingkungan. Bahwa Maluku Utara kaya akan sumber daya alam, namun eksploitasi
yang tidak terkontrol dapat berdampak buruk bagi lingkungan dan kesejahteraan
masyarakat. Kampanye negarawan harus memasukkan agenda pengelolaan lingkungan
yang berkelanjutan sebagai bagian dari platform politik mereka. Program
pengelolaan sampah, pelestarian hutan, dan pengembangan energi terbarukan bisa
menjadi contoh kebijakan yang relevan untuk daerah ini.
Kedua,
Pemberdayaan Pendidikan dan Kesehatan. Bahwa Pendidikan dan kesehatan adalah
dua pilar utama pembangunan yang sering kali diabaikan dalam kampanye populis.
Seorang negarawan di Maluku Utara harus menekankan pentingnya peningkatan mutu
pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil, serta memperkuat sistem kesehatan
yang inklusif dan merata. Kampanye yang berbasis pada perbaikan infrastruktur
pendidikan dan kesehatan akan memberikan dampak jangka panjang yang positif
bagi masyarakat.
Ketiga,
Transparansi dan Partisipasi Publik. bahwa kampanye negarawan harus menekankan
pentingnya transparansi dalam pemerintahan serta partisipasi masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan. Di Maluku Utara, kampanye bisa dirancang untuk
mendorong keterlibatan masyarakat dalam diskusi kebijakan publik, misalnya
melalui forum-forum dialog terbuka atau platform online di mana masyarakat
dapat memberikan masukan langsung terkait program pembangunan.
Daftar Reference
Aspinall, E. (2011). Democratization and Ethnic Politics in Indonesia: Nine Theses. Journal of East Asian Studies, 11(2), 289-319. https://doi.org/10.1017/S159824080000728X
Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Cornell University Press.
Fatah, R. (2023). Jou Se Ngofa Ngare dalam Budaya Politik Lokal dan Nilai Demokrasi; Studi Hermeneutik di Kalangan Elit Lokal Ternate. Disertasi, Universitas Muhammadiyah Malang
Khanin, D. (2007). The philosophy of transforming leadership. Journal of Leadership Studies, 1(4), 27-37. https://doi.org/10.1002/jls.20163
Liddle, R. W., & Mujani, S. (2007). Leadership, Party, and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia. Comparative Political Studies, 40(7), 832-857. https://doi.org/10.1177/0010414006292113
Lodge, T. (2006). Mandela: A Critical Life. Oxford University Press.
Lowi, T. J. (2004). The End of Liberalism: The Second Republic of the United States (2nd ed.). W.W. Norton & Company.
Norris, P., & Inglehart, R. (2019). Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism. Cambridge University Press.
Rogers, E. M., & Storey, J. D. (1987). Communication campaigns. In C. R. Berger & S. H. Chaffee (Eds.), Handbook of Communication Science (pp. 817-846). Sage Publications.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar